Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2010

Yang Kita Tahu

Gambar
Hari ini hari yang baik untuk berpikir. Wira duduk di bangku taman, menelungkupkan kedua telapak tangannya yang saling menindih. Ia sedang menunggu seseorang. Masih banyak waktu untuk berpikir. Ia menunggu dengan tenang, tidak cemas atau bosan seperti kebanyakan orang. Ia menikmati waktu yang dimilikinya. Yang ditungguinya adalah orang yang istimewa, tetapi bukan “istimewa” yang dimaksud remaja jaman sekarang, tapi istimewa apa adanya. Ingatkah kamu tentang teman masa kecilmu, yang selalu menungguimu jika kamu terlambat, memberikanmu sepotong kuenya walaupun ia sendiri lapar, ataupun membantumu bangkit ketika terjatuh dari sepeda, semua ia lakukan dengan tulus, polos, atas nama persahabatan. Irin adalah teman yang istimewa itu. Sudah empat tahun mereka mengenal, dan dua tahun mereka berkawan. Mereka saling mengenal dari teman Wira yang berteman dengan seeseorang yang berteman dengan seseorang yang mengenal teman Irin. Pendeknya, mereka sudah menyadari eksistensi satu sama lain sejak l

Ketegaran Cinta Bertakbir

Seorang sahabatku, Mimi namanya, kami bersahabat puluhan tahun sejak kami sama-sama duduk di sekolah dasar (SD). Mimi gadis sederhana, anak tunggal seorang juragan sapi perah di wilayah kami, memiliki mata sebening kaca, dan lesung pipit yang manis menawan siapa saja dan akan runtuh hatinya jika memandang senyumnya. Termasuk saya. Dan nilai tambahnya adalah dia seorang yang sangat soleha, yang patuh pada kedua orang tuanya. Tetapi Ranu, ’’don juan’’ yang satu ini juga sangat menyukai Mimi. Track record-nya yang begitu glamor dan mentereng tidak meragukan untuk merebut hati Mimi. Sedangkan saya, hanya bisa menatap cinta dari balik senyuman tipis ketegaran. Karena saya tidak mau persahabatan kami hancur. Lambat laun, Mereka pun pacaran dari mulai kelas 1 SMP hingga menikah. Sebagai tetangga sekaligus sahabat yang baik, saya hanya bisa mendukung dan ikut bahagia dengan keadaan tersebut (walaupun hati ini sedikit teriris). Apalagi Mimi dan Ranu saling mendukung. Hingga tiba ketika selesai

Sajak Bisu untuk Cinta

Aku menunggu sejam yang lalu dalam terik suci mentari hingga mengalunnya rintik sunyi hujan di sore itu. Kudengar hingga kunanti kereta senja yang datang di ufuk timur tiba. Aku pun tak tahu siapa dan mengapa diriku berada di sini dalam keheningan siluet senjamu. Dalam ruang-ruang dimensi atau wujud tiada hendaki cinta bernaung dalam gelora asmara di setiap jiwa anak cucu Adam diciptakan. Genderang hati ini bertabuh dengan simfoni haru pilu, lalu hancurkan puing-puing hati biru kelabu. Wujud dentuman ornamen melirih kian menderu, sendu, dalam tangisan nian syahdu. Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkah asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru di langit Lazuard. Menatap indah cakrawala penuh harapan dan cinta di balik Gunung Fujiyama hanya bersama sosok indahmu. Kutorehkan namamu dalam hati bunga Edelwiss, lalu kulukis cantiknya parasmu dalam beribu ratapan sajak-sa

Mungkinkah Ini Saat Terakhir?

Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit…. Tililit….Dengan malas Rona menggerakkan tangannya. Ia berusaha meraih handphone yang terletak di atas meja tepat di sebelah tempat tidur dengan mata masih terpejam.  “Ha..lo …”, sahut Rona dengan perlahan setelah memencet salah satu tombol handphone.  “Ya ampun Na! Lu baru bangun ya?” tanya Rara. “Yaaaa, ada apa sih Ra?” sahut Rona dengan mata masih mengantuk. “Tumben banget lu kesiangan? Emang semalam lu begadang ya?” tanya Rara lagi. “Iya nyelesain paper yang disuruh Bu Rani. Weker gue rusak, makanya telat bangun,” jelas Rona perlahan. “Ohhhh….gitu, ya udah! Sekarang lu mandi dan cepat-cepat kemari ada kabar penting!” perintah Rara. “Kabar apaan sih Ra?” tanya Rona dengan malas karena merasa tidak akan tertarik dengan kabar dari sahabatnya itu. “Hari ini Dude masuk sekolah Na!” kata Rara dengan tegas. Rona yang sedari tadi tiduran dan memejamkan mata, sontak kaget dan langsung duduk dengan membelalakkan matanya. “Serius Ra?” tanya Ro

Ghost OF Love

Gambar
“Vin, besok jangan lupa bawa catatan kimia, fisika, matematika, and biologi ya,’’ kata Adit. ‘’Iya deh,,iya..,’ ‘ sambungku. ‘’Eits,,wait !oh ya,catatan jepang juga ya..,’’ kata Adit lagi. ‘’Iya…,’’ jawabku singkat. ‘’Jangan lupa lho…,’’ katanya lagi. ‘’Iya Dit….iya…,’’ jawabku singkat lalu kututup HP-ku. Habisnya,temanku yang satu ini paling recok deh. Kalau bicara sama dia,aku bisa gondokan nih…tapi,dia itu teman aku yang paling baik lho. Ada satu lagi temanku yang namanya Rian, hubungan kami bertiga sangat akrab. Esoknya, saat istirahat,aku dan Rian pergi ke kantin untuk makan. Beberapa saat kemudian Adit tidak muncul juga. Kami berdua keheranan, padahal biasanya kami bertiga makan sama-sama. Sampai waktu istirahat  berlalu, Adit tidak muncul juga. Jadi aku dan Rian memutuskan untuk beranjak masuk kelas. Saat pulang sekolah pun kami tidak melihat Adit. ‘’Mana sih ni anak??’’ gerutu Rian, kami berdua makin heran,dan Rian mengusulkan untuk pergi ke rumah Adit. Kami sampai  di rumah A

Muhammad untuk Intan

Aku hanya seorang penulis pemula. Apakah serangkaian kata-kata tanpa makna akan mungkin merubah cerita ini hingga menjadi cerita yang berakhir bahagia? Pelangi itu indah karena mempunyai tujuh warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Tetapi hidupku lebih indah. Sebab, aku mempunyai Intan. Kehadirannya bagaikan spektrum sang surya yang memberiku berjuta warna. Nama kecilnya Intan. Pernahkah kau dengar kisah cinta pertamanya dengan aku? Ah, kau pasti berfikir kisah kami seperti Sunny yang diperankan Bunga Citra Lestari. Atau kisah Isabella dari negeri jiran Malaysia. Atau juga kisah Manohara. Ah, tidak, saudara. Aku tak suka merekayasa cerita orang lain dengan menambah sedikit sentuhan imajinasi. Kau pasti menduga kisah kami sama membosankan dengan kisah mereka? Tapi cerita ini harus tetap diselesaikan. Nama lengkapnya Intan Septiani Simanullang. Dia keturunan Batak Kristen. Kau boleh panggil dia Intan, Septi atau Sima. Kata sebagian orang: apalah arti sebuah nama? Tapi

Sebuah Penantian (Untukmu Sobat)

Sepertinya cuaca pagi itu agak mendung, membuat semua aktivitas yang akan dilakukan menjadi kacau sedikit. Gemuruh petir terasa menggetarkan tanah jelas di relung hati setiap insan. Langit yang memerah terus mengeluarkan tetesan air dari perutnya, dari pagi hingga sore. Saat itu juga tampak seorang gadis berseragam SMA berteduh di halte bis sambil menunggu hujan reda, ia mengambil sebuah handphone Nokia di tasnya. Ditulisnya sebuah pesan singkat kepada seseorang. Tidak lama kemudian sebuah mobil Mercedes hitam mendekati gadis itu, terlihat seseorang berpakaian polos dan sederhana. “Kenapa lama sekali, aku seperti di dalam kulkas karena kelamaan menantimu,” rengut gadis berseragam SMA itu. “Maafkan aku Ima, kamu tahu sendiri ‘kan, Jakarta itu macet.” “Sudah tahu Jakarta itu macet kenapa tidak pergi dari awal,” balas Ima lagi, ketus. “Sudahlah Ma. Aku tadi ada kerjaan sedikit makanya aku telat.” Tara berusaha menenangkan Ima yang lagi kesal. “Bisa kita pulang sekarang?” tanya Tara kepad

Senyuman Terindah dan Terakhir

Gambar
kehidupanku. Aku sangat mengenal Syla, dialah sosok jiwa yang kukagumi. Ia selalu tegar menghadapi cobaan yang menerpanya. Se-nyumannya yang indah selalu bisa meluluhkan hatiku saat aku sedang menasehatinya. Nilai rapornya tidak pernah merah, dan dialah seorang yang dianugerahi kecerdasan oleh Al-Wahhab. Namun, waktu untukku dapat menemuinya dalam keadaan sadar semakin berkurang. Penyakit berbahaya yang telah bertahun-tahun menyerangnya, membuat Syla lebih sering berada di ruang yang penuh dengan aroma obat-obatan dan Syla tidak lagi melakukan aktivitas yang biasa dilakukan anak seusiaku. Penyakit yang dialami Syla juga pernah dirasakan ibunya, yang telah lama berpulang ke rahmatullah. Setelah beranjak pergi dari bangunan tempat proses pembelajaran, biasanya aku pulang bersama sahabatku, Syla, sekarang aku hanya sendiri menyusuri jalanan sepi. Aku pulang ke rumah, mengganti baju, dan segera menuju ke supermarket, untuk membeli buah-buahan. “Cio…” terdengar sebuah suara menyapaku dari