Muhammad untuk Intan


Aku hanya seorang penulis pemula. Apakah serangkaian kata-kata tanpa makna akan mungkin merubah cerita ini hingga menjadi cerita yang berakhir bahagia?
Pelangi itu indah karena mempunyai tujuh warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Tetapi hidupku lebih indah. Sebab, aku mempunyai Intan. Kehadirannya bagaikan spektrum sang surya yang memberiku berjuta warna.
Nama kecilnya Intan. Pernahkah kau dengar kisah cinta pertamanya dengan aku? Ah, kau pasti berfikir kisah kami seperti Sunny yang diperankan Bunga Citra Lestari. Atau kisah Isabella dari negeri jiran Malaysia. Atau juga kisah Manohara. Ah, tidak, saudara. Aku tak suka merekayasa cerita orang lain dengan menambah sedikit sentuhan imajinasi. Kau pasti menduga kisah kami sama membosankan dengan kisah mereka?
Tapi cerita ini harus tetap diselesaikan.
Nama lengkapnya Intan Septiani Simanullang. Dia keturunan Batak Kristen. Kau boleh panggil dia Intan, Septi atau Sima. Kata sebagian orang: apalah arti sebuah nama? Tapi, bagi penyair di zaman Anda: nama ibarat tahta. Aku setuju dengan penyair Anda. Kau panggil saja dia Intan. Seraut wajah sendu semi klasik, pasti akan menoleh. Tak perlulah kuceritakan bentuk wajahnya, rambutnya atau pun tubuhnya. Kau cukup membayangkan Avril Lavigne berambut hitam, kira-kira seperti itulah Intan.
Malam Sabtu yang indah. Bintang tersenyum riang di kaki langit. Kujemput Intan di rumahnya, kami kemudian meneruskan perjalanan. Arahnya terus ke barat, Prapat Tunggal. Sementara itu, malam terus merangkak tertatih-tatih. Angin malam bergulir pasrah. Di atas sana awan tengah menyeberangi angkasa yang luas bagai lautan tak bertepi. Awan itu terus berenang. Lalu berhenti ketika sampai di muka bulan yang sedang tersenyum. Seketika bulan itu cemberut.  Tetapi ia tak berdaya. Mungkin saja bulan mau menghalau awan itu. Tapi tiada mampu. Kalau saja ia menangis, mungkin bulan itu sudah terisak sendu.
Sedangkan awan masih tampak bandel. Seolah tak mau peduli dengan ratapan bulan. Pada saat itulah kuungkapkan cintaku pada Intan, tanpa membubuh kata-kata gombal di setiap kata yang keluar dari mulutku walaupun aku seorang penulis yang mempunyai kata-kata indah. Di luar dugaan, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku tak senasib dengan pria yang pernah ditolak oleh Intan sebelum aku hadir dalam hidupnya.
Kau pasti menduga aku ini pejuang cintanya Hello atau pemenang cintanya Kapten. Ah, tidak Saudara. Aku ini cuma manusia biasanya Radja. Hanya bisa jujur, tulus dan ikhlas. Alasan Intan menerima aku cukup sederhana, karena aku masih suci. Suci bukan dalam artian aku masih perjaka tapi suci dalam artian aku tidak merokok bebas asap dan bebas nikotin. Selain itu dia juga mempunyai perasaan yang sama dengan aku, sama-sama suka. Seperti sebuah peluru yang keluar dari moncong bedil. Semangat hidupku tiba-tiba melesat. Mulus serupa ban sepeda motor yang bersentuhan lembut dengan badan aspal. Aku begitu gembira.
Tapi cerita ini harus tetap diselesaikan, bukan ?
Tak butuh waktu lama untuk kami mengelilingi Prapat Tunggal. Sebab pukul 08.45 kami sudah dalam perjalanan pulang. Tapi perjalanan mengulangi waktu pergi tadi terpaksa dihentikan. Rosita, teman Intan mengajak singgah ke rumahnya. Mungkin karena tak ingin buat dia kecewa, kami pun singgah dan bercanda di teras rumahnya. Setengah jam kemudian, datang dua orang pria ingin berkenalan dengan Intan. Teman Rosita juga. Sebenarnya Intan tak mau, mungkin karena dia menghargai aku sebagai pacarnya. Tapi setelah kuizinkan, akhirnya Intan bersedia juga. Hanya seorang yang salaman sama intan, satunya lagi menanti di atas motor. Aku mencium bau bahaya di setiap tarikan nafas mereka. Instingku berkata mereka berdua akan menjadi duri dalam daging bagi hubungan kami nantinya. Mungkin hanya perasaanku saja yang sudah tersulut api cemburu. Tiada yang tahu, bahwa instingku lebih tajam dari insting seekor srigala. Pukul 11.00 kami pulang.
Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak bercanda agar lebih akrab. Sampai di depan rumah Intan, darahku membeku seketika. Ibu kost duduk santai di depan teras. Dari wajahnya kulihat ada sesuatu yang tidak beres. Dengan berat hati aku pamit mengikuti kakiku ini untuk pulang.
“Dari mana saja kau?” tanya ibu kost sambil bersidekap.
“Jalan rumah Rosita.” jawab Intan singkat.
“Pulang jam segini, kenapa tak pagi saja? Tadi itu siapa? Pakai peluk-peluk segala.”
“Itu abangnya Rosita, tadi dia yang jemput aku.” Intan masuk ke rumah, terus ke kamar meninggalkan ibu kost dengan tanda tanya besar di jidatnya.
Tanpa sepengetahuan Intan, ibu kost menelepon Dr Rolas James Simanullang, abang sepupu Intan. “Kau nasehatilah Intan. Dia keluar malam sama cowok sampai jam 11.00. Pantas tadi dia cepat-cepat beres rumah, mandi dan makan. Rupanya mereka sudah berjanji mau keluar malam ini. Dia tak menghargai Ibu. Di depan rumah saja mereka masih peluk-pelukan Apalagi di belakang ibu? Kau tak maukan Intan rusak?’’. Bang Rolas hanya diam tapi giginya gemertak menahan marah.
Sorenya, kusempatkan waktu mengantar Intan ke pelabuhan fery. Dia mau ke Pakning, itulah rutinitasnya setiap ujung minggu, sembahyang di gereja tengah hari minggunya. Senyum masih membias di bibir tipisnya. Sambil menanti fery berangkat, kami ngobrol berdua. Beberapa pasang mata menatap kami bagai harimau yang siap menerkam mangsanya. Tapi untung mereka tidak menelanjangi kami dengan kata-kata. Setelah Intan masuk ke fery yang merayap di asin laut, aku pun pulang.
Baru saja Intan menginjakkan kakinya di rumah, dia heran. Tak biasanya, Bang Rolas menanti kedatangannya. Dari sorot matanya bisa ditebak bahwa dia menyimpan bara api di dalam hujan.
“Malam tadi ke mana saja kau?’’ Bang Rolas bertanya tanpa basa-basi. Rupanya bara api semakin besar di dalam hujan yang tinggal gerimis.
“Jalan rumah Ros, teman aku” jawab Intan sambil menunduk.
Intan bermaksud meluruskan permasalahannya tapi justru kejujurannya membuat emosi lawan bicaranya. Penjelasannya dianggap sebagai alasan untuk membela diri. Plak…plak…plak.. Bang Rolas menampar Intan. Intan terkejut sambil menahan sakit. Air matanya mulai mengalir deras.
“Sekarang kau sudah mulai keras kepala. Kakak-kakak kau juga punya pacar, tapi tak pernah pulang sampai jam 11.00”. Kemarahan Bang Rolas semakin berapi-api.
“Ampun Bang, Intan mengaku salah. Lain kali tidak buat lagi”. Intan mulai mengiba-iba.
Tak puas dengan menampar, Bang Rolas mengambil tali pinggang dan memukulnya ke tubuh Intan sampai bebilai. Intan menangis kesakitan, ku tak sanggup menceritakannya. Seharusnya tali pinggang itu bersarang di tubuhku. Aku yang salah. Intan hanya objek pelengkap penderitaanku saja.
“Sudahlah, Bang. Kasihan Intan nanti dia bisa sakit. Intan sudah janji tidak akan buat lagi”. Kak Vero angkat bicara setelah lama berdiam diri. Akhirnya, Bang Rolas mau memaafkan Intan. Dua hari setelah itu Intan sering sakit-sakitan. Dia jadi lebih pendiam. Aku suruh dia istirahat. Dia jadi trauma keluar malam. Besok-besoknya tak pernah lagi kami keluar malam.
Tiga malam berturut-turut, aku mimpi Intan meninggalkanku. Ketika kuceritakan, Intan hanya bilang mimpi itu bunga tidur. Aku tetap ngotot bahwa itu firasat buruk. Lama-lama intan bosan juga. Dengan sabar dia berkata “Percayalah, kak. Dengan izin dari tuhan, Intan untuk seumur hidup sayang sama kakak. Cinta sejati hanya bisa terbentuk dari ketulusan, kejujuran, setia dan saling percaya.” Akhirnya aku tenang juga.
Ujian terberat datang dari teman-teman cowok Rosita. Satu persatu mereka mengungkapkan cinta pada Intan. Tentu saja Intan menolak karena dia sudah punya aku. Mungkin sebab gagal mendapatkan Intan secara diplomatis, mereka menempuh jalan kekerasan. Mereka mengancam kami berdua, malah mereka menantang aku berkelahi. Bagiku: pantang anak Melayu dicabar. Musuh tidak dicari, kalau ketemu pantang lari. Kami sepakat kelahi di jalan baru.
Baru saja aku mau pergi, melintas bayang Intan. Dia hanya berdiri kaku tanpa senyuman. Aku kebingungan, tak mengerti maksudnya. Kemudian datang bayangan Emak dengan senyuman khasnya. “Pulanglah….” Aku semakin bimbang, kuputuskan pulang saja. Biarlah mereka bilang aku penakut. Malamnya aku mimpi didatangi kakek berpakaian serba putih  “Tidak ada gunanya berkelahi jika hanya ingin menentukan siapa yang hebat. Padahal yang hebat itu sudah ada yaitu Allah SWT. Tahan emosimu jika tidak ingin dimanfaatkan setan”.
Begitu banyak cobaan yang datang. Sehingga kuputuskan untuk menulis cerita ini. Kuambil kertas dan pena, aku pun mulai berimajinasi. Tapi setiap kata yang kutulis di atas kertas bagaikan satu sayatan pisau di atas tubuh Intan. Semakin banyak kata yang kutulis, semakin banyak goresan pisau di tubuhnya Dia mulai mengerang kesakitan. Aku berhenti menulis, tapi Intan tersenyum. Seolah-olah berkata : “Teruskan…” Aku bukan merangkai cerita tapi mengukir peta kesedihan di tubuh Intan berupa goresan berdarah. Air mataku tak sanggup lagi kubendung, akhirnya jatuh juga di atas cerita ini. Tapi di luar dugaanku, air mata itu jatuh di atas luka Intan. Dia menjerit histeris, kepedihan. Tanganku tiba-tiba kelu. Pandanganku mulai gelap, aku pingsan di atas kertas cerita ini yang merupakan tubuh Intan yang telah bersimbah darah. Aku tak tau lagi apa yang terjadi.
Tapi cerita ini telah berhasil kuselesaikan.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Bergambar

Orang Tua Dan Setan