Desa Baik Hati
Langit masih menurunkan gerimis kecil-kecil saat aku berjalan menyusuri
pematang ladang sesawi dan lobak menuju sebuah gerbang desa yang sudah
kuputuskan akan kusinggahi hingga beberapa hari ke depan untuk
beristirahat. aku berpikir ini desa yang sangat tentram, terletak tepat
di lereng gunung dan dikelilingi ladang-ladang bunga dan sayuran,
ketika pertama melihatnya dari atas bukit tadi, aku membayangkan,
dengan tinggal di sini, aku pasti akan melahirkan banyak
tulisan-tulisan dengan kisah yang segar dan dalam.
Dua pohon damar besar tumbuh berhadapan di sisi jalan sebagai gerbang desa, dua pohon itu disatukan dengan sebuah papan lebar berbentuk persegi yang dijalari tanaman bouganville ungu, terukir sebuah tulisan 'DESA BAIK HATI' di papan itu , pertama kali membacanya aku langsung ingat sebuah cerita yang beredar luas di desa yang aku temui sebelum ini, bahwa ada sebuah desa dengan nama yang sama dan letak geografis yang sama dengan desa ini. menurut cerita, desa itu walau namanya demikian, semua penduduknya tak pernah bersikap ramah kepada setiap pendatang yang berasal dari luar desa, semua akan menatap dengan sinis dan menutup warung yang ada ketika mengetahui bahwa ada orang asing yang masuk ke desa mereka. aku berpikir, jangan-jangan desa yang mereka maksud itu adalah desa ini, benar atau tidak, aku akan membuktikan dengan mata kepalaku sendiri.
Masih 50 meter dari gerbang desa sebelum aku benar-benar memasuki desa itu, gerombolan anak-anak di dalam desa itu sudah berteriak keras, "ADA PENDATANG, ADA PENDATANG...!!" tentu saja aku kaget, seluruh penduduk desa langsung keluar rumah dan menuju ke gerbang itu. aku tak tahu apa yang terjadi, tapi mereka semua berdiri di gerbang itu seolah menyambut kedatanganku. aku menyapa mereka dengan senyuman setelah sampai tepat di gerbang itu, "selamat siang..," kataku. mereka tidak menunjukkan ekspresi apapun dan malah saling menatap ke sesama mereka.
"Berapa hari kau akan tiggal di desa ini, nak?" kata seorang kakek tua yang baru saja turun dari pedati berisi tomat-tomat merahnya.
"Kalau boleh, saya akan tinggal selama tiga hari di desa ini." jawabku.
"Syukurlah.." kata mereka serempak sambil tersenyum bahagia.
aku tak tahu apa yang terjadi, yang kutahu ternyata desa ini tidak seperti yang dibicarakan orang-orang di desa sebelah tadi, mereka ramah, mereka menyambutku dengan hangat.
"Ayo tinggal di rumahku, kak" seorang lelaki kecil yang membawa sebuah pot plastik berisi bibit bouganville tiba-tiba memegang pergelangan tanganku dan mengajak aku untuk singgah di rumahnya. Tak bisa kutolak, aku menerima tawarannya dengan senang hati. Begitu juga dengan seluruh penduduk desa, mereka seperti bahagia jika aku mau tinggal di rumah keluarga anak itu.
“Siapa namamu, dik?” tanyaku.
“Panggil aku Penggembala Hujan” jawabnya sambil meringis.
“Oh, begitu ya? Baiklah. Aku Awan, Awan Tenggara lengkapnya.” Kataku sambil bercanda menusuk pelan perutnya dengan jari manisku.
***
“Kopinya, Nak.” Ayah si Penggembala Hujan membawa dua cangkir kopi, satu untukku, dan satu lagi untuknya. Kami bicara begitu akrab malam ini, tak banyak yang kami bicarakan tentang desa ini kecuali semua cerita tentang pengembaraanku.
Memandang desa ini sambil ngobrol dan minum kopi ketika malam di bawah terang bulan sungguh membuat hatiku tentram, kunang-kunang yang bertebaran, suara bancet, jejangkrik, hingga ciap burung-burung malam, seluruhnya melengkapi ketentraman dan tentu saja kesahajaan penduduk desa ini.
“Pak, esok saya mau jalan-jalan keliling desa..” kataku.
“Sama aku saja, Kak!” tiba-tiba si Penggembala Hujan memeluk erat tubuhku dari belakang sambil berteriak. Ayahnya hanya tersenyum.
“Iya, kau jalan-jalanlah bersama anakku, dia adalah pengagum alam sepertimu, dia pasti akan membawamu ke tempat-tempat paling indah di desa ini”
“Ah, terimakasih banyak, pak.”
Perbincangan itu tak bisa mengobati rasa lelahku karena perjalanan panjangku siang tadi, akupun mengistirahatkan tubuhku dan tidur hingga tak bisa bermimpi karena aku memikirkan perjalanan yang indah esok hari.
***
Pagi ini aku sudah berada di sebuah tempat yang nyaman, sebuah lahan bidang yang tidak terlalu luas, ditumbuhi rumput teki dan dikelilingi anyelir, lili, juga tak ketinggalan, bouganville ungu. Tempat ini terletak tepat di atas sungai bening yang mengalir pelan, mendengar gemericiknya membuatku ingin selalu menulis puisi, apalagi memandang tepat di depannya, sebuah gunung besar dengan hutan yang didominasi oleh pohon-pohon phinus yang tinggi berdiri menjulang di sana.
“Ini tempat rahasiaku, kak!” kata si Penggembala Hujan, “aku yang menanam semua bunga ini, juga semua bunga yang ada di desa, aku berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi seorang insinyur pertanian”.
“Wah, kau hebat. Baiklah, kalau begitu mari kita pejamkan mata dan berdoa agar cita-citamu itu terkabul.”
“Apa tidak jadi masalah jika terkabul, kak?” kali ini si Penggembala Hujan bicara lirih padaku, matanya mencerminkan kesedihan.
“Lho kenapa memangnya, bukankah itu cita-cita yang mulia?”
“Aku berfikir begitu, tapi semua anak-anak desa mengataiku bodoh, ‘masak anak laki-laki suka tanaman? Huu.. bodoh..bodoh..’ begitulah mereka sering mengejekku.”
“Kau tidak bodoh, sudah kubilang kau ini hebat, kalau kau mau tahu seperti apa itu orang bodoh, aku akan bercerita padamu. Aku punya sebuah cerita tentang si bodoh.”
“Memang ada cerita seperti itu, kak? Baiklah, aku mau mendengarkannya.” Si penggembala hujan merapat ke sampingku dan mau mendengarkan ceritaku dengan serius.
“Oke, mari kita mulai, suatu hari ada seorang terbodoh di dunia pergi bertualang, karena kebodohannya, sampai di manapun ia selalu dibohongi, kali ini uang, pakaian dan sepatunya tertipu semua. Tapi petualang ini memang terlalu bodoh, hanya dengan satu kata ‘terimakasih’ saja, barangnya ditipu semua. Dan bodohnya lagi, dia malah menangisi orang yang membohonginya. Lalu memberikan semua harta benda yang ia miliki. Ia jadi miskin, tidak memiliki apapun. Petualang ini merasa malu, jadi ia memutuskan untuk bertualang ke hutan. He he bodoh ya..”
“Sampai di situ saja kisahnya?” si Penggembala Hujan menyela sambil mengerutkan dahi.
“Masih ada, mari kita lanjutkan. Kali ini dalam petualangannya di hutan, petualang bodoh itu bertemu dengan setan-setan. Setan-setan itu ingin memakan tubuh petualang itu, lalu mulai membohonginya. Petualang itu, karena saking bodohnya, ia bisa tertipu dan memberikan kaki dan tangannya kepada setan itu. Belum puas, setan itu menipunya lagi, hingga akhirnya petualang itu tinggal memiliki kepala saja. sambil memakan bagian tubuh petualang itu, sang setan berkata padanya bahwa ia akan memberikannya sebuah hadiah. Tapi ternyata itu hanya bohong belaka, karena ternyata hadiah yang diberikan setan itu adalah secarik kertas bertuliskan ‘MANUSIA BODOH!’. anehnya, petualang itu tetap bahagia karena seumur hidupnya, inilah pertama kalinya ia mendapatkan hadiah. Ia tak henti mengucapkan terimakasih kepada setan itu, betapa bodohnya…”
“Kemudian apa yang terjadi?”
“Petualang itu terus menangis karena bahagia, sampai akhir hayatnya ia tetap tidak tahu bahwa ia telah dibohongi, akhirnya petualang itu meninggal di hutan belantara seorang diri, tanpa siapa-siapa, semua setan menertawakannya dengan geli. bodoh ‘kan…”
Si Penggembala Hujan mengerutkan keningnya lagi sambil menatap tajam wajahku, ia berkata, “Kenapa bodoh, kenapa kakak selalu meyebutnya bodoh setiap mengakhiri cerita? Menurutku, ia yang selalu ditipu tapi tetap mengucapkan terimakasih sambil meneteskan airmata bukanlah tindakan bodoh. Ia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, itu pasti yang namanya keikhlasan, itu pasti karena Tuhan menganugerahi padanya cinta yang besar. Kalau aku bertemu dengannya, aku tak akan mencari kesempatan untuk bisa menipunya, aku ingin menolongnya, aku ingin membahagiakannya, orang seperti ini, aku pasti akan mengangkatnya menjadi saudara jika berjumpa.”
Aku tak habis pikir ada orang yang akan memberikan jawaban seperti itu usai mendengar cerita ini, aku merasa terpukul, mengingat orang yang mengutarakannya padaku adalah seorang anak kecil, aku jadi tahu bahwa umurku tidak pernah menjamin kedewasaanku. Aku memeluk kepala si Penggembala Hujan. Lalu berbisik padanya pelan-pelan;
“Kau tahu mengapa air di sungai itu memilih pergi dari mata air dan mengalir menuju ke tempat yang bahkan ia pun tidak tahu apakah tempat itu akan menerimanya? dia seperti halnya aku, ingin terus mengalir, dia mengembara, dia ingin menemui setiap hal yang tak pernah ia temui, hal yang akan membuka matanya, hal yang akan membuat ia kuat, hingga ia bisa menjadi besar seperti samudra. Intuisi dan percaya diri, itulah yang ia miliki. Ia tidak tahu akan sampai dimana perjalannya nanti, tapi dia selalu tahu bahwa dia akan bertemu dengan orang-orang yang dapat membesarkan jiwanya seperti kamu.”
Si Penggembala Hujan hanya tersenyum kecil, lalu kami menghabiskan hari itu berdua dengan memancing ikan di danau belakang desa.
***
“Kau boleh jadi petualang dan penulis seperti kak Awan kalau kau mau, ikutlah dengannya, ayah dan ibu pasti bahagia.” Kata ayah si Penggembala Hujan saat kami semua menikmati teh di ruang keluarga. Tapi si Penggembala Hujan tidak mau dan memilih tinggal di desa, meski sebenarnya ia ingin ikut berpetualang bersamaku, entahlah, aku juga tak tahu, seperti ada sebuah isyarat dalam mata keluarga ini saat kami berbincang.
Ini hari ketiga sejak aku memasuki desa ini, aku tidak tahu bahwa tinggal di desa ini akan begini nyaman, maka akhirnya akupun memutuskan untuk tinggal lebih lama di sini. Belum sempat aku bilang pada yang punya rumah, seluruh penduduk desa sudah berkumpul di depan rumah si Penggembala Hujan, tak ada keperluan apapun kecuali untuk bertemu denganku. Dan akupun keluar untuk menemui mereka.
“Tuan Awan, apa anda betah tinggal di desa ini?”
“Ah, iya. saya sangat bahagia tinggal di sini, rencananya saya akan menambah hari untuk bisa tinggal lebih lama..”
“Ah, bukankah tuan sudah berjanji kalau tuan hanya akan tinggal tiga hari saja di desa ini?” tatapan mereka begitu sedih, terlihat seperti ingin agar aku bisa tetap tinggal di sini lebih lama, tapi pertanyaan mereka barusan, dari intonasinya aku tahu bahwa mereka juga hendak mengusirku. Lagi-lagi aku dibuat tak paham, atmosfir seperti ini, persis seperti dengan yang kurasakan ketika aku bicara dengan keluarga si Penggembala Hujan tadi.
“Baiklah, saya paham. Nanti siang saya akan pergi dari sini.” Aku mencoba memahami dan memberikan mereka senyum termanisku.
Mereka sangat bahagia, bahkan ketika aku pergi, setiap penduduk memberiku oleh-oleh. Aku tak tahu apa yang terjadi, ini terasa seperti bahwa aku adalah malaikat yang baru saja turun dari langit dan menyebarkan kebahagiaan di desa ini.
Terakhir sebelum aku pergi, si Penggembala Hujan memelukku eret-erat, ia menangis dan memberi aku sepucuk surat.
“Kakak, terimakasih. Aku bahagia bertemu kak Awan Tenggara. Hati-hati di jalan ya..” itulah kata-kata terakhirnya yang ia ucapkan padaku. Aku mencium kepalanya, kemudian berpaling pergi.
Tanpa sadar setelah memunggungi mereka, tak terasa kedua mataku meneteskan airmata. “ini sungguh desa yang baik hati, desa yang baik hati! Apa yang orang-orang desa sebelah pikirkan sehingga mengatakan hal yang sebaliknya tentang desa ini…” aku berjalan sambil mencoba mencari jawaban dari pertanyaan hatiku sendiri, namun jawaban itu tidak bisa kutemukan. Sama sekali tak bisa.
***
Aku mendirikan tenda di sebuah bukit yang jaraknya sangat jauh dari DESA BAIK HATI itu, namun jika melihat ke arah selatan, desa itu masih bisa terlihat meskipun kecil, di belakangnya sebuah gunung yang besar berdiri kokoh, terlihat seperti penjaga kedamaian bagi penduduk desa yang asri itu.
Malam harinya, sesuatu membangunkanku secara tiba-tiba, sebuah suara ledakan yang besar! Ah, ternyata, aku menatap dengan mata kepalaku sendiri, DESA BAIK HATI itu telah hilang ditelan lahar merah yang menyala-nyala dari gunung di belakangnya. Aku tak bisa mengungkapkan kesedihanku ketika mengingat semua perlakuan penduduk desa kepadaku selama aku tinggal di sana, dari situ aku ingat, bahwa sebelum aku pergi Si Penggembala Hujan memberiku sepucuk surat, diterangi sebatang lilin diantara suara ledakan gunung yang menggelegaar itu, aku membaca suratnya;
Kak Awan Tenggara yang kusayangi,
Tiga hari bersamamu, kak. Rasanya begitu kurang. Seandainya boleh, aku ingin kakak bisa lebih lama lagi tinggal di rumah kami, bahkan selamanyapun tak apa semisal kak Awan mau.
Mungkin kakak merasa bahwa penduduk desa seperti mengusir kakak pada hari ketiga saat kunjungan kakak ke desa kami. Sebenarnya benar, bahwa kami ingin kakak pergi dari desa kami hari itu, namun itu semua kami lakukan bukan tanpa alasan. Sebulan lalu, orang paling sakti di desa kami meramalkan bahwa gunung yang selama ini menaungi desa kami akan membawa kami pergi, itulah takdir kami, dan kami siap menunggunya, kami tak boleh menolak takdir itu.
Dulu, pendatang yang datang ke desa kami selalu bermalam paling sedikit dua bulan lamanya. Namun sejak ramalan itu ada, kepala desa membuat kebijakan bahwa setiap pendatang asing tidak boleh bermalam di desa kami melebihi tiga hari. Ironisnya, setelah peraturan itu ada, malah sama sekali tak ada pendatang yang mengunjungi desa kami. Segala gosip buruk tentang desa kamipun bermunculan. Kami jadi sedih, untungnya, tiga hari sebelum ramalan itu benar-benar terjadi, kakak datang ke desa kami. Kami bahagia karena kakaklah yang mengobati rindu kami untuk menyambut orang asing dengan bahagia. Itulah alasannya kenapa juga ketika kakak pergi, seluruh penduduk desa memberi cinderamata untuk kakak. Sebenarnya itu bukan apa-apa, itu hanya ucapan terimakasih bahwa kakak telah membuat kami bahagia.
Terimakasih banyak, kak. Aku menyayangimu. Semoga kelak kita bisa berjumpa lagi di
surga.
Membaca surat itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa duduk terpaku selama berjam-jam menatap lahar yang terus mengalir melamun desa itu. Aku seperti telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupku. Entahlah, aku menjadi seperti orang gila, seperti orang gila. (*)
Dua pohon damar besar tumbuh berhadapan di sisi jalan sebagai gerbang desa, dua pohon itu disatukan dengan sebuah papan lebar berbentuk persegi yang dijalari tanaman bouganville ungu, terukir sebuah tulisan 'DESA BAIK HATI' di papan itu , pertama kali membacanya aku langsung ingat sebuah cerita yang beredar luas di desa yang aku temui sebelum ini, bahwa ada sebuah desa dengan nama yang sama dan letak geografis yang sama dengan desa ini. menurut cerita, desa itu walau namanya demikian, semua penduduknya tak pernah bersikap ramah kepada setiap pendatang yang berasal dari luar desa, semua akan menatap dengan sinis dan menutup warung yang ada ketika mengetahui bahwa ada orang asing yang masuk ke desa mereka. aku berpikir, jangan-jangan desa yang mereka maksud itu adalah desa ini, benar atau tidak, aku akan membuktikan dengan mata kepalaku sendiri.
Masih 50 meter dari gerbang desa sebelum aku benar-benar memasuki desa itu, gerombolan anak-anak di dalam desa itu sudah berteriak keras, "ADA PENDATANG, ADA PENDATANG...!!" tentu saja aku kaget, seluruh penduduk desa langsung keluar rumah dan menuju ke gerbang itu. aku tak tahu apa yang terjadi, tapi mereka semua berdiri di gerbang itu seolah menyambut kedatanganku. aku menyapa mereka dengan senyuman setelah sampai tepat di gerbang itu, "selamat siang..," kataku. mereka tidak menunjukkan ekspresi apapun dan malah saling menatap ke sesama mereka.
"Berapa hari kau akan tiggal di desa ini, nak?" kata seorang kakek tua yang baru saja turun dari pedati berisi tomat-tomat merahnya.
"Kalau boleh, saya akan tinggal selama tiga hari di desa ini." jawabku.
"Syukurlah.." kata mereka serempak sambil tersenyum bahagia.
aku tak tahu apa yang terjadi, yang kutahu ternyata desa ini tidak seperti yang dibicarakan orang-orang di desa sebelah tadi, mereka ramah, mereka menyambutku dengan hangat.
"Ayo tinggal di rumahku, kak" seorang lelaki kecil yang membawa sebuah pot plastik berisi bibit bouganville tiba-tiba memegang pergelangan tanganku dan mengajak aku untuk singgah di rumahnya. Tak bisa kutolak, aku menerima tawarannya dengan senang hati. Begitu juga dengan seluruh penduduk desa, mereka seperti bahagia jika aku mau tinggal di rumah keluarga anak itu.
“Siapa namamu, dik?” tanyaku.
“Panggil aku Penggembala Hujan” jawabnya sambil meringis.
“Oh, begitu ya? Baiklah. Aku Awan, Awan Tenggara lengkapnya.” Kataku sambil bercanda menusuk pelan perutnya dengan jari manisku.
***
“Kopinya, Nak.” Ayah si Penggembala Hujan membawa dua cangkir kopi, satu untukku, dan satu lagi untuknya. Kami bicara begitu akrab malam ini, tak banyak yang kami bicarakan tentang desa ini kecuali semua cerita tentang pengembaraanku.
Memandang desa ini sambil ngobrol dan minum kopi ketika malam di bawah terang bulan sungguh membuat hatiku tentram, kunang-kunang yang bertebaran, suara bancet, jejangkrik, hingga ciap burung-burung malam, seluruhnya melengkapi ketentraman dan tentu saja kesahajaan penduduk desa ini.
“Pak, esok saya mau jalan-jalan keliling desa..” kataku.
“Sama aku saja, Kak!” tiba-tiba si Penggembala Hujan memeluk erat tubuhku dari belakang sambil berteriak. Ayahnya hanya tersenyum.
“Iya, kau jalan-jalanlah bersama anakku, dia adalah pengagum alam sepertimu, dia pasti akan membawamu ke tempat-tempat paling indah di desa ini”
“Ah, terimakasih banyak, pak.”
Perbincangan itu tak bisa mengobati rasa lelahku karena perjalanan panjangku siang tadi, akupun mengistirahatkan tubuhku dan tidur hingga tak bisa bermimpi karena aku memikirkan perjalanan yang indah esok hari.
***
Pagi ini aku sudah berada di sebuah tempat yang nyaman, sebuah lahan bidang yang tidak terlalu luas, ditumbuhi rumput teki dan dikelilingi anyelir, lili, juga tak ketinggalan, bouganville ungu. Tempat ini terletak tepat di atas sungai bening yang mengalir pelan, mendengar gemericiknya membuatku ingin selalu menulis puisi, apalagi memandang tepat di depannya, sebuah gunung besar dengan hutan yang didominasi oleh pohon-pohon phinus yang tinggi berdiri menjulang di sana.
“Ini tempat rahasiaku, kak!” kata si Penggembala Hujan, “aku yang menanam semua bunga ini, juga semua bunga yang ada di desa, aku berharap suatu hari nanti aku bisa menjadi seorang insinyur pertanian”.
“Wah, kau hebat. Baiklah, kalau begitu mari kita pejamkan mata dan berdoa agar cita-citamu itu terkabul.”
“Apa tidak jadi masalah jika terkabul, kak?” kali ini si Penggembala Hujan bicara lirih padaku, matanya mencerminkan kesedihan.
“Lho kenapa memangnya, bukankah itu cita-cita yang mulia?”
“Aku berfikir begitu, tapi semua anak-anak desa mengataiku bodoh, ‘masak anak laki-laki suka tanaman? Huu.. bodoh..bodoh..’ begitulah mereka sering mengejekku.”
“Kau tidak bodoh, sudah kubilang kau ini hebat, kalau kau mau tahu seperti apa itu orang bodoh, aku akan bercerita padamu. Aku punya sebuah cerita tentang si bodoh.”
“Memang ada cerita seperti itu, kak? Baiklah, aku mau mendengarkannya.” Si penggembala hujan merapat ke sampingku dan mau mendengarkan ceritaku dengan serius.
“Oke, mari kita mulai, suatu hari ada seorang terbodoh di dunia pergi bertualang, karena kebodohannya, sampai di manapun ia selalu dibohongi, kali ini uang, pakaian dan sepatunya tertipu semua. Tapi petualang ini memang terlalu bodoh, hanya dengan satu kata ‘terimakasih’ saja, barangnya ditipu semua. Dan bodohnya lagi, dia malah menangisi orang yang membohonginya. Lalu memberikan semua harta benda yang ia miliki. Ia jadi miskin, tidak memiliki apapun. Petualang ini merasa malu, jadi ia memutuskan untuk bertualang ke hutan. He he bodoh ya..”
“Sampai di situ saja kisahnya?” si Penggembala Hujan menyela sambil mengerutkan dahi.
“Masih ada, mari kita lanjutkan. Kali ini dalam petualangannya di hutan, petualang bodoh itu bertemu dengan setan-setan. Setan-setan itu ingin memakan tubuh petualang itu, lalu mulai membohonginya. Petualang itu, karena saking bodohnya, ia bisa tertipu dan memberikan kaki dan tangannya kepada setan itu. Belum puas, setan itu menipunya lagi, hingga akhirnya petualang itu tinggal memiliki kepala saja. sambil memakan bagian tubuh petualang itu, sang setan berkata padanya bahwa ia akan memberikannya sebuah hadiah. Tapi ternyata itu hanya bohong belaka, karena ternyata hadiah yang diberikan setan itu adalah secarik kertas bertuliskan ‘MANUSIA BODOH!’. anehnya, petualang itu tetap bahagia karena seumur hidupnya, inilah pertama kalinya ia mendapatkan hadiah. Ia tak henti mengucapkan terimakasih kepada setan itu, betapa bodohnya…”
“Kemudian apa yang terjadi?”
“Petualang itu terus menangis karena bahagia, sampai akhir hayatnya ia tetap tidak tahu bahwa ia telah dibohongi, akhirnya petualang itu meninggal di hutan belantara seorang diri, tanpa siapa-siapa, semua setan menertawakannya dengan geli. bodoh ‘kan…”
Si Penggembala Hujan mengerutkan keningnya lagi sambil menatap tajam wajahku, ia berkata, “Kenapa bodoh, kenapa kakak selalu meyebutnya bodoh setiap mengakhiri cerita? Menurutku, ia yang selalu ditipu tapi tetap mengucapkan terimakasih sambil meneteskan airmata bukanlah tindakan bodoh. Ia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, itu pasti yang namanya keikhlasan, itu pasti karena Tuhan menganugerahi padanya cinta yang besar. Kalau aku bertemu dengannya, aku tak akan mencari kesempatan untuk bisa menipunya, aku ingin menolongnya, aku ingin membahagiakannya, orang seperti ini, aku pasti akan mengangkatnya menjadi saudara jika berjumpa.”
Aku tak habis pikir ada orang yang akan memberikan jawaban seperti itu usai mendengar cerita ini, aku merasa terpukul, mengingat orang yang mengutarakannya padaku adalah seorang anak kecil, aku jadi tahu bahwa umurku tidak pernah menjamin kedewasaanku. Aku memeluk kepala si Penggembala Hujan. Lalu berbisik padanya pelan-pelan;
“Kau tahu mengapa air di sungai itu memilih pergi dari mata air dan mengalir menuju ke tempat yang bahkan ia pun tidak tahu apakah tempat itu akan menerimanya? dia seperti halnya aku, ingin terus mengalir, dia mengembara, dia ingin menemui setiap hal yang tak pernah ia temui, hal yang akan membuka matanya, hal yang akan membuat ia kuat, hingga ia bisa menjadi besar seperti samudra. Intuisi dan percaya diri, itulah yang ia miliki. Ia tidak tahu akan sampai dimana perjalannya nanti, tapi dia selalu tahu bahwa dia akan bertemu dengan orang-orang yang dapat membesarkan jiwanya seperti kamu.”
Si Penggembala Hujan hanya tersenyum kecil, lalu kami menghabiskan hari itu berdua dengan memancing ikan di danau belakang desa.
***
“Kau boleh jadi petualang dan penulis seperti kak Awan kalau kau mau, ikutlah dengannya, ayah dan ibu pasti bahagia.” Kata ayah si Penggembala Hujan saat kami semua menikmati teh di ruang keluarga. Tapi si Penggembala Hujan tidak mau dan memilih tinggal di desa, meski sebenarnya ia ingin ikut berpetualang bersamaku, entahlah, aku juga tak tahu, seperti ada sebuah isyarat dalam mata keluarga ini saat kami berbincang.
Ini hari ketiga sejak aku memasuki desa ini, aku tidak tahu bahwa tinggal di desa ini akan begini nyaman, maka akhirnya akupun memutuskan untuk tinggal lebih lama di sini. Belum sempat aku bilang pada yang punya rumah, seluruh penduduk desa sudah berkumpul di depan rumah si Penggembala Hujan, tak ada keperluan apapun kecuali untuk bertemu denganku. Dan akupun keluar untuk menemui mereka.
“Tuan Awan, apa anda betah tinggal di desa ini?”
“Ah, iya. saya sangat bahagia tinggal di sini, rencananya saya akan menambah hari untuk bisa tinggal lebih lama..”
“Ah, bukankah tuan sudah berjanji kalau tuan hanya akan tinggal tiga hari saja di desa ini?” tatapan mereka begitu sedih, terlihat seperti ingin agar aku bisa tetap tinggal di sini lebih lama, tapi pertanyaan mereka barusan, dari intonasinya aku tahu bahwa mereka juga hendak mengusirku. Lagi-lagi aku dibuat tak paham, atmosfir seperti ini, persis seperti dengan yang kurasakan ketika aku bicara dengan keluarga si Penggembala Hujan tadi.
“Baiklah, saya paham. Nanti siang saya akan pergi dari sini.” Aku mencoba memahami dan memberikan mereka senyum termanisku.
Mereka sangat bahagia, bahkan ketika aku pergi, setiap penduduk memberiku oleh-oleh. Aku tak tahu apa yang terjadi, ini terasa seperti bahwa aku adalah malaikat yang baru saja turun dari langit dan menyebarkan kebahagiaan di desa ini.
Terakhir sebelum aku pergi, si Penggembala Hujan memelukku eret-erat, ia menangis dan memberi aku sepucuk surat.
“Kakak, terimakasih. Aku bahagia bertemu kak Awan Tenggara. Hati-hati di jalan ya..” itulah kata-kata terakhirnya yang ia ucapkan padaku. Aku mencium kepalanya, kemudian berpaling pergi.
Tanpa sadar setelah memunggungi mereka, tak terasa kedua mataku meneteskan airmata. “ini sungguh desa yang baik hati, desa yang baik hati! Apa yang orang-orang desa sebelah pikirkan sehingga mengatakan hal yang sebaliknya tentang desa ini…” aku berjalan sambil mencoba mencari jawaban dari pertanyaan hatiku sendiri, namun jawaban itu tidak bisa kutemukan. Sama sekali tak bisa.
***
Aku mendirikan tenda di sebuah bukit yang jaraknya sangat jauh dari DESA BAIK HATI itu, namun jika melihat ke arah selatan, desa itu masih bisa terlihat meskipun kecil, di belakangnya sebuah gunung yang besar berdiri kokoh, terlihat seperti penjaga kedamaian bagi penduduk desa yang asri itu.
Malam harinya, sesuatu membangunkanku secara tiba-tiba, sebuah suara ledakan yang besar! Ah, ternyata, aku menatap dengan mata kepalaku sendiri, DESA BAIK HATI itu telah hilang ditelan lahar merah yang menyala-nyala dari gunung di belakangnya. Aku tak bisa mengungkapkan kesedihanku ketika mengingat semua perlakuan penduduk desa kepadaku selama aku tinggal di sana, dari situ aku ingat, bahwa sebelum aku pergi Si Penggembala Hujan memberiku sepucuk surat, diterangi sebatang lilin diantara suara ledakan gunung yang menggelegaar itu, aku membaca suratnya;
Kak Awan Tenggara yang kusayangi,
Tiga hari bersamamu, kak. Rasanya begitu kurang. Seandainya boleh, aku ingin kakak bisa lebih lama lagi tinggal di rumah kami, bahkan selamanyapun tak apa semisal kak Awan mau.
Mungkin kakak merasa bahwa penduduk desa seperti mengusir kakak pada hari ketiga saat kunjungan kakak ke desa kami. Sebenarnya benar, bahwa kami ingin kakak pergi dari desa kami hari itu, namun itu semua kami lakukan bukan tanpa alasan. Sebulan lalu, orang paling sakti di desa kami meramalkan bahwa gunung yang selama ini menaungi desa kami akan membawa kami pergi, itulah takdir kami, dan kami siap menunggunya, kami tak boleh menolak takdir itu.
Dulu, pendatang yang datang ke desa kami selalu bermalam paling sedikit dua bulan lamanya. Namun sejak ramalan itu ada, kepala desa membuat kebijakan bahwa setiap pendatang asing tidak boleh bermalam di desa kami melebihi tiga hari. Ironisnya, setelah peraturan itu ada, malah sama sekali tak ada pendatang yang mengunjungi desa kami. Segala gosip buruk tentang desa kamipun bermunculan. Kami jadi sedih, untungnya, tiga hari sebelum ramalan itu benar-benar terjadi, kakak datang ke desa kami. Kami bahagia karena kakaklah yang mengobati rindu kami untuk menyambut orang asing dengan bahagia. Itulah alasannya kenapa juga ketika kakak pergi, seluruh penduduk desa memberi cinderamata untuk kakak. Sebenarnya itu bukan apa-apa, itu hanya ucapan terimakasih bahwa kakak telah membuat kami bahagia.
Terimakasih banyak, kak. Aku menyayangimu. Semoga kelak kita bisa berjumpa lagi di
surga.
Membaca surat itu, aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa duduk terpaku selama berjam-jam menatap lahar yang terus mengalir melamun desa itu. Aku seperti telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupku. Entahlah, aku menjadi seperti orang gila, seperti orang gila. (*)
Komentar
Posting Komentar
silahkan komentar yah ;)