Hujan yang Menyambut Kepulanganmu
*Cerpen ini merupakan permintaan dari kerabat dekatku di dunia maya
ini. ia memberiku sebuah gambar dan menyuruhku untuk merubah gambar itu
menjadi sebuah cerita pendek. bayangkan, hanya sebuah gambar! ^^'
twew
dan akhirnya, setelah sekian lama, aku berhasil juga membuatnya (tapi ketok'e wagu banget ik), barangkali aku tak pandai bikin cerpen tentang cinca ya... ha ha simak saja kalau nggak percaya. yuk maree..
Entah kenapa aku tak pernah paham, bagaimana ketika berada di dekatmu denyar nadiku bisa menjadi begitu lain. Ataukah mungkin karena ada sebuah ikatan yang kini telah berubah dari sekedar persahabatan antara aku—Amanda yang sangat centil—dengan engkau—Azward yang selalu pemalu?
Hari itu tanggal 4 Februari. Hari kepulanganmu. Perjumpaan kita kembali setelah lima tahun sebelum itu kau pergi dari “Tanah Cerita” yang sejak kecil selalu kau dan aku kunjungi. Aku berharap ketika itu, kau tak lupa tentang apa yang pernah ada di sana. Tentang bagaimana di tempat itu dulu kita saling bertukar cerita atau sekedar berbagi suka dan duka. Kendati lima tahun engkau telah pergi meninggalkannya.
Semisal tentang ketika di sana kita mengadu kepada Tuhan akan takdir yang kita rasa tak pernah adil seraya menatap kecapung-kecapung yang lalu-lalang di udara. Atau sekedar duduk diam menatap tingkah polah burung-burung gelatik yang berjingkat dari satu pucuk kembang tebu ke pucuk kembang tebu yang lain.
Tentu, juga tentang warna langit sore di atas tempat itu yang sebiru safir, yang senantiasa membuat kita berdua betah berlama-lama berbaring memandangnya, sembari mencium pekat wangi garam yang menguar dari pantai utara tiap ombak membawa air-air laut debur ke batu-batu karang. Di sana, di “Tanah Cerita” itu—Markas rahasia kita berdua.
**
Ketika itu hujan turun dengan sangat deras sebelum kereta yang kau tumpangi berhenti di stasiun yang di dalamnya ada aku sedang menjemputmu.
Aku memilih berdiri di ujung peron untuk menanti kedatanganmu dengan sepasang mata yang cemas dan membiarkan hujan tempias di wajahku, sebab aku tak mau melewatkan dan demikian ingin membingkai dalam ingatan setiap detik pertemuan pertamaku denganmu setelah lima tahun berpisah.
Sesekali orang-orang meneriakiku agar aku duduk pada bangku kosong di samping mereka lantaran khawatir melihat pakaianku yang membasah perlahan. Namun aku hanya membalas mereka dengan sebuah senyuman. Sekali saja. Dan mereka akan langsung diam. Barangkali dari senyumanku itu mereka telah langsung dapat membaca cerita, kalau orang yang sedang kutunggu kedatangannya itu adalah orang yang sangat kucinta. Ah, tapi ketika itu aku masih belum mampu membenarkannya.
Lalu aku, ketika akhirnya menyimak keretamu datang melambat dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang nyala menembus rinai-rinai, jantungku seketika degab merancu. Aku mendengar suara-suara yang sangat keras muncul dari dalam dadaku. Lebih keras daripada suara hujan yang berkertapan di atas langit-langit peron, bahkan juga lebih tak beraturan daripada derak gerbong kereta yang membawamu pulang itu. Yang akhirnya satu persatu melintas jelas di depanku, dengan kaca-kaca pintu yang seolah berkata, “Tebak, dari mana akan keluar orang yang kau tunggu?”
Aku mencarimu dari satu pintu ke pintu yang lain, tapi tak kutemukan engkau. Mungkin karena kau tak benar-benar pulang seperti apa yang telah dikatakan keluargamu padaku, atau mungkin kau lebih dulu turun sebelum aku sampai pada pintu di mana engkau telah keluar berjalan.
TEP!
Dan akhirnya, tepukan yang hangat dan lembut itu mendarat juga di pundakku— tepukan tanganmu yang tetap sama seperti dulu. Seketika kerinduanku akan sentuhmu lunas. Apalagi saat aku tahu kalau kau tak pernah lupa dengan wajahku walaupun telah lima tahun kita tak pernah saling bertemu.
Ketika itu aku begitu lama menatap ke kedalaman matamu, tapi kau hanya tersenyum. Hingga akhirnya aku menjadi sadar kalau saat itu kau sudah tak lagi sama dengan Azward yang kukenal dulu. Entah kenapa, rasanya ketika itu aku jadi ingin sekali menundukkan kepala usai melihat caramu membalas tatapan mataku, seperti bagaimana dulu aku kau paksa untuk diam dan khidmat menyimak kesahajaan kata juga kerendah hatianmu. Dan saat itu, sekali lagi aku memutar cerita yang pernah kita lalui dalam kepalaku—mencoba menemukan kembali alasan kenapa aku ingin sekali berada di sampingmu.
Aku kembali ingat bagaimana dulu engkau tetap menerimaku sebagai sahabat kendati agama kita tak sama. Engkau kerap meyakinkanku bahwa perbedaan tak pernah menjadi sesuatu yang akan mampu memisahkan kita. Sehingga kau tak pernah ragu untuk mendengar bunyi lonceng gereja tempat aku bersembahyang karena kau suka. Dan demikian juga dengan aku, aku juga akhirnya tak pernah ragu mengakui kekagumanku akan kumandang adzan yang merdu dari puncak menara masjid tempat ibadahmu.
“Tuhan itu satu, hanya saja kita—kau dan aku—menyembahnya dengan cara yang berbeda.” Begitulah dulu engkau selalu berkata padaku jika hatiku gundah memikirkan jurang yang sekali waktu—mungkin—bisa memisahkan kita. Itulah juga yang akhirnya menjadi alasan kenapa aku selalu merasa nyaman jika berada di dekatmu.
Kau juga kerap mengatakan padaku kalau kebenaran hanya akan bisa muncul dari kebijaksanaan. Dan kesahajaanmu itulah yang membuatku merasa sangat kehilangan dirimu ketika engkau berlalu.
Lima tahun, kota besar yang mendidikmu, dan kesepianku karena kehilanganmu ternyata telah mengubah banyak hal dalam diri kita. Kau dan aku seperti telah bertukar mata, bahkan mungkin hati. Aku menjadi engkau yang pemalu yang hanya akan mengatakan hal-hal penting saja kalau bicara, dan engkau menjadi aku yang sanguinis dan tak pernah kehabisan kata-kata untuk terus bercerita..
Lebih dari itu, ternyata ketika itu aku melihat ada jarak yang terasa begitu berbeda saat kita berdiri dan berjalan pulang di bawah payung yang sama, kendati saat masih kanak-kanak dulu kita berdua begitu sering melakukannya. Mungkin saja karena masing-masing kita telah dewasa. Atau mungkin, jangan-jangan aku tak menyadari kalau saat itu kepadamu aku telah jatuh cinta.
Ingin sekali aku bertanya padamu satu hal saat itu, tapi ternyata kaulah yang lebih dulu mengatakan padaku sesuatu. Sesuatu yang ternyata begitu purna melindap segala rindu yang seharian itu membuncah dalam dadaku. Rindu itu hilang, lenyap bukan oleh karena aku sudah melihat keseluruhan dirimu. Namun oleh kabar yang bibirmu ujar.
Kau akan menikah pada bulan ke lima, begitulah katamu padaku sebelum aku sempat menanyakan apakah di kota engkau sudah punya seorang kekasih. Dan itulah alasan yang membuatku merasa kenapa ketika itu aku tak lagi pantas untuk merindukanmu.
Maka akhirnya aku memilih menghentikan langkahku saat kau bicara panjang lebar tentang calon pengantinmu. Kau begitu senang menceritakan kesempurnaannya, sampai tak sadar kalau aku telah kuyup berdiri di belakangmu.
“Kau bodoh, apa yang kau lakukan di sana?” Itulah yang kau kata sambil tertawa hari itu ketika kau sadar kalau aku sudah tak lagi sepayung denganmu..
“Sudah lama tidak main hujan-hujanan, kau mau ikut?” Dan aku tak pernah lupa seperti itulah aku menimpali tanyamu, dengan tanya lain yang hanya kau jawab dengan sedikit senyuman dan gelengan kepala di bawah payung yang tak juga kau katupkan.
Dan sebenarnya, jika aku berani memberitahumu. Hari itu, aku berhenti bukan karena aku ingin seperti apa yang aku katakan, namun tak lain karena aku tak ingin kau melihat Amanda yang dulu selalu kau kenal sebagai gadis tegar menangis di depanmu. Aku selalu percaya, bahwa hujan selalu dapat menyembunyikan air mata. Sebab itulah hari itu aku lebih memilih berdiri di bawah hujan agar kau tak bisa melihat air mataku.
Dan saat ini, dua tahun setelah hari itu. Aku bercerita tentangmu dan tentang itu semua kepada angin dan tetumbuhan perdu sambil menengadahkan wajah ke langit, di “Tanah Cerita” yang kini kian senyap sebab tak lagi ada engkau yang barang sejenak duduk diam seperti dulu. Aku sendirian. Begitu dingin, seperti hujan yang ketika itu menyambut kepulanganmu. (*)
dan akhirnya, setelah sekian lama, aku berhasil juga membuatnya (tapi ketok'e wagu banget ik), barangkali aku tak pandai bikin cerpen tentang cinca ya... ha ha simak saja kalau nggak percaya. yuk maree..
Entah kenapa aku tak pernah paham, bagaimana ketika berada di dekatmu denyar nadiku bisa menjadi begitu lain. Ataukah mungkin karena ada sebuah ikatan yang kini telah berubah dari sekedar persahabatan antara aku—Amanda yang sangat centil—dengan engkau—Azward yang selalu pemalu?
Hari itu tanggal 4 Februari. Hari kepulanganmu. Perjumpaan kita kembali setelah lima tahun sebelum itu kau pergi dari “Tanah Cerita” yang sejak kecil selalu kau dan aku kunjungi. Aku berharap ketika itu, kau tak lupa tentang apa yang pernah ada di sana. Tentang bagaimana di tempat itu dulu kita saling bertukar cerita atau sekedar berbagi suka dan duka. Kendati lima tahun engkau telah pergi meninggalkannya.
Semisal tentang ketika di sana kita mengadu kepada Tuhan akan takdir yang kita rasa tak pernah adil seraya menatap kecapung-kecapung yang lalu-lalang di udara. Atau sekedar duduk diam menatap tingkah polah burung-burung gelatik yang berjingkat dari satu pucuk kembang tebu ke pucuk kembang tebu yang lain.
Tentu, juga tentang warna langit sore di atas tempat itu yang sebiru safir, yang senantiasa membuat kita berdua betah berlama-lama berbaring memandangnya, sembari mencium pekat wangi garam yang menguar dari pantai utara tiap ombak membawa air-air laut debur ke batu-batu karang. Di sana, di “Tanah Cerita” itu—Markas rahasia kita berdua.
**
Ketika itu hujan turun dengan sangat deras sebelum kereta yang kau tumpangi berhenti di stasiun yang di dalamnya ada aku sedang menjemputmu.
Aku memilih berdiri di ujung peron untuk menanti kedatanganmu dengan sepasang mata yang cemas dan membiarkan hujan tempias di wajahku, sebab aku tak mau melewatkan dan demikian ingin membingkai dalam ingatan setiap detik pertemuan pertamaku denganmu setelah lima tahun berpisah.
Sesekali orang-orang meneriakiku agar aku duduk pada bangku kosong di samping mereka lantaran khawatir melihat pakaianku yang membasah perlahan. Namun aku hanya membalas mereka dengan sebuah senyuman. Sekali saja. Dan mereka akan langsung diam. Barangkali dari senyumanku itu mereka telah langsung dapat membaca cerita, kalau orang yang sedang kutunggu kedatangannya itu adalah orang yang sangat kucinta. Ah, tapi ketika itu aku masih belum mampu membenarkannya.
Lalu aku, ketika akhirnya menyimak keretamu datang melambat dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang nyala menembus rinai-rinai, jantungku seketika degab merancu. Aku mendengar suara-suara yang sangat keras muncul dari dalam dadaku. Lebih keras daripada suara hujan yang berkertapan di atas langit-langit peron, bahkan juga lebih tak beraturan daripada derak gerbong kereta yang membawamu pulang itu. Yang akhirnya satu persatu melintas jelas di depanku, dengan kaca-kaca pintu yang seolah berkata, “Tebak, dari mana akan keluar orang yang kau tunggu?”
Aku mencarimu dari satu pintu ke pintu yang lain, tapi tak kutemukan engkau. Mungkin karena kau tak benar-benar pulang seperti apa yang telah dikatakan keluargamu padaku, atau mungkin kau lebih dulu turun sebelum aku sampai pada pintu di mana engkau telah keluar berjalan.
TEP!
Dan akhirnya, tepukan yang hangat dan lembut itu mendarat juga di pundakku— tepukan tanganmu yang tetap sama seperti dulu. Seketika kerinduanku akan sentuhmu lunas. Apalagi saat aku tahu kalau kau tak pernah lupa dengan wajahku walaupun telah lima tahun kita tak pernah saling bertemu.
Ketika itu aku begitu lama menatap ke kedalaman matamu, tapi kau hanya tersenyum. Hingga akhirnya aku menjadi sadar kalau saat itu kau sudah tak lagi sama dengan Azward yang kukenal dulu. Entah kenapa, rasanya ketika itu aku jadi ingin sekali menundukkan kepala usai melihat caramu membalas tatapan mataku, seperti bagaimana dulu aku kau paksa untuk diam dan khidmat menyimak kesahajaan kata juga kerendah hatianmu. Dan saat itu, sekali lagi aku memutar cerita yang pernah kita lalui dalam kepalaku—mencoba menemukan kembali alasan kenapa aku ingin sekali berada di sampingmu.
Aku kembali ingat bagaimana dulu engkau tetap menerimaku sebagai sahabat kendati agama kita tak sama. Engkau kerap meyakinkanku bahwa perbedaan tak pernah menjadi sesuatu yang akan mampu memisahkan kita. Sehingga kau tak pernah ragu untuk mendengar bunyi lonceng gereja tempat aku bersembahyang karena kau suka. Dan demikian juga dengan aku, aku juga akhirnya tak pernah ragu mengakui kekagumanku akan kumandang adzan yang merdu dari puncak menara masjid tempat ibadahmu.
“Tuhan itu satu, hanya saja kita—kau dan aku—menyembahnya dengan cara yang berbeda.” Begitulah dulu engkau selalu berkata padaku jika hatiku gundah memikirkan jurang yang sekali waktu—mungkin—bisa memisahkan kita. Itulah juga yang akhirnya menjadi alasan kenapa aku selalu merasa nyaman jika berada di dekatmu.
Kau juga kerap mengatakan padaku kalau kebenaran hanya akan bisa muncul dari kebijaksanaan. Dan kesahajaanmu itulah yang membuatku merasa sangat kehilangan dirimu ketika engkau berlalu.
Lima tahun, kota besar yang mendidikmu, dan kesepianku karena kehilanganmu ternyata telah mengubah banyak hal dalam diri kita. Kau dan aku seperti telah bertukar mata, bahkan mungkin hati. Aku menjadi engkau yang pemalu yang hanya akan mengatakan hal-hal penting saja kalau bicara, dan engkau menjadi aku yang sanguinis dan tak pernah kehabisan kata-kata untuk terus bercerita..
Lebih dari itu, ternyata ketika itu aku melihat ada jarak yang terasa begitu berbeda saat kita berdiri dan berjalan pulang di bawah payung yang sama, kendati saat masih kanak-kanak dulu kita berdua begitu sering melakukannya. Mungkin saja karena masing-masing kita telah dewasa. Atau mungkin, jangan-jangan aku tak menyadari kalau saat itu kepadamu aku telah jatuh cinta.
Ingin sekali aku bertanya padamu satu hal saat itu, tapi ternyata kaulah yang lebih dulu mengatakan padaku sesuatu. Sesuatu yang ternyata begitu purna melindap segala rindu yang seharian itu membuncah dalam dadaku. Rindu itu hilang, lenyap bukan oleh karena aku sudah melihat keseluruhan dirimu. Namun oleh kabar yang bibirmu ujar.
Kau akan menikah pada bulan ke lima, begitulah katamu padaku sebelum aku sempat menanyakan apakah di kota engkau sudah punya seorang kekasih. Dan itulah alasan yang membuatku merasa kenapa ketika itu aku tak lagi pantas untuk merindukanmu.
Maka akhirnya aku memilih menghentikan langkahku saat kau bicara panjang lebar tentang calon pengantinmu. Kau begitu senang menceritakan kesempurnaannya, sampai tak sadar kalau aku telah kuyup berdiri di belakangmu.
“Kau bodoh, apa yang kau lakukan di sana?” Itulah yang kau kata sambil tertawa hari itu ketika kau sadar kalau aku sudah tak lagi sepayung denganmu..
“Sudah lama tidak main hujan-hujanan, kau mau ikut?” Dan aku tak pernah lupa seperti itulah aku menimpali tanyamu, dengan tanya lain yang hanya kau jawab dengan sedikit senyuman dan gelengan kepala di bawah payung yang tak juga kau katupkan.
Dan sebenarnya, jika aku berani memberitahumu. Hari itu, aku berhenti bukan karena aku ingin seperti apa yang aku katakan, namun tak lain karena aku tak ingin kau melihat Amanda yang dulu selalu kau kenal sebagai gadis tegar menangis di depanmu. Aku selalu percaya, bahwa hujan selalu dapat menyembunyikan air mata. Sebab itulah hari itu aku lebih memilih berdiri di bawah hujan agar kau tak bisa melihat air mataku.
Dan saat ini, dua tahun setelah hari itu. Aku bercerita tentangmu dan tentang itu semua kepada angin dan tetumbuhan perdu sambil menengadahkan wajah ke langit, di “Tanah Cerita” yang kini kian senyap sebab tak lagi ada engkau yang barang sejenak duduk diam seperti dulu. Aku sendirian. Begitu dingin, seperti hujan yang ketika itu menyambut kepulanganmu. (*)
Komentar
Posting Komentar
silahkan komentar yah ;)