Janji Yang Membisu

Janji kebersamaan kita yang tak akan pernah pupus terlekang oleh waktu. Kini kau telah tenang disana sayang, menanti kehadiranku kembali untuk melanjutkan cerita kita dulu. Tuhan punya cara untuk mengindahkan kisah kita dulu. Janji yang pernah kita sematkan saat kebahagian sedang membasuh kita. Janji dariku Oky untukmu Seftya, dan untuk hubungan kita.

Dulu..
Dulu… Aku selalu berbahagia denganmu, menunggumu berjam-jam biasa bagiku, menunggu kehadiranmu kala kakimu menginjak gerbang sekolah selepas sekolah usai tak pernah membuatku jenuh. Tak pernah mulut ini rela untuk menegormu padahal begitu lamanya aku dibawah terik matahari yang usang hanya untuk menunggumu selepas sekolah.

Tak pernah sedikitpun kita bertengkar, berbicara angan kita untuk selalu bersama. Padahal 3 tahun sudah kita bersama, kau tetap selalu menjadi yang pertama. Cita-cita kita dulu saat kita masih mengenakan seragam putih abu adalah “Mendapatkan kebahagiaan yang layak untuk kita”.

Belajar bersama di sebuah Foodcourt selepas sekolah usai sambil bercengkrama, mengistirahatkan otak kita sambil bertukar pikiran ilmu yang kita temuakan di sekolah masing-masing itu hal yang selalu kita lakukan hampir setiap hari. Menyambangi rumahmu yang saat itu semakin jauh karena kepindahanku dari Komplek kita dulu tak menjadi penghalang bagiku untuk selalu menjadi ojek gratis tumpanganmu.

Omelan papah kala aku pulang malam karena habis mengajarimu soal matematika yang sungguh susahnya masuk dalam pikiranmu tak mampu hentikan kebiasaan kita. Apalagi saat celotehan mamahmu kala kita pulang terlambat saat hujan menyerbu dan menghentikan perjalanan kita untuk berteduh karena aku tak pernah ingin kau sakit. Betapa bodohnya aku kala kau sakit karena tetesan air hujan itu.

Meski mamahmu sering bilang “makanya bawa mobil” tak membuatku berhenti untuk belajar setir mobil, meski diam-diam dari papah. Aku memang telah ditinggal oleh sosok bidadari dalam diriku yaitu mamah, makanya aku selalu menghormati ribuan mamah didunia ini dan menganggap mamahmu adalah mamahku. Kau selalu bersedih kala mamahmu memarahimu, tapi aku selalu senang dan semakin sayang pada mamahmu karena bagiku ini perhatian yang diberikannya untukku.

Memang malang sekali nasibku hanya numpang mamah darimu, tapi itulah yang membuatmu senang menceritakan tentangku pada mamahmu. Aku ingat kala itu mamahmu senang mendengar bahwa aku sekolah sambil kerja, itu yang membuatnya menerima dan merestui hubungan kita. Kekokohan mamahmu dulu telah ku lunakan saat berita perjuanganku untuk melanjutkan hidup telah didengarnya.

Celotehan kebahagiaan pun menambah kebahagiaanku kala ku temukan ayahku kembali bersama wanita yang menjadi penggati mamahku katanya, tapi bagiku tak ada yang bisa menggantikan sosok mamah. Aku ingat, dan pasti selalu teringat saat kita sedang bermain di sebuah pantai yang jaraknya sangat jauh dari rumah dan pastinya jauh dari keluarga jauh dari kehangatan rumah yang selalu kau rindukan karena aku sangat paham kau sulit jauh dari rumah. Karena bagimu kehangatan hanya ada dirumah dan ada dalam diriku.

Kita pernah pergi kesana, ke sebuah pantai yang sangat biru, pemandangan yang berarti diselimuti ribuan pasir pantai putih,kita bersenang-senang disana. Meskipun malamnya aku harus menunggumu tertidur dikala semua mata harus terpejam apalagi kalau kau tak bisa tidur karena kangen rumah.

Kau pasti ingat, sore itu kala ujung pantai ingin menarik matahari yang berwarna oren keemasan, kita pernah berjanji, berjanji untuk selalu berbahagia. Janji kita saat itu adalah “Kita tak sehidup semati, karena Tuhan menciptakan kita untuk berbahagia. Jika salah satu diantara kita ada yang pergi, pergi mendahulukan keadaan, salah satu diantara kita tak boleh ada yang meneteskan air mata apalagi sampai meraung-raung untuk menghentikan keadaan.

Yang ditinggalkan haruslah melanjutakan kebahagiaan yang telah ditetapkan tuhan. Dengan mencari pengganti dari yang pergi” Janji itu kita sematkan diantara bergantinya masa diiringi kepergian matahari dari pelupuk mata. Kupikir itu hanya guyonan diantara candaan kita, sebenarnya itu hanya ledekan apakah sanggup dia kutinggalkan karena yang ku tahu dia salalu menolak untuk kutinggalkan. Sungguh itu ledekan dan candaan yang terindah untukku.

Kala itu, sebuah sore yang panjang bagiku betapa susahnya aku mengajarimu rumus-rumus soal matematika untuk nghadapi Ujian Akhir Nasional. Selepas pulang sekolah setelah refreshing sejenak hingga malam menyambangi kau baru mampu menyelesaikan soal UN tahun lalu. Bagaimana dengan tahun sekarang yang katanya akan lebih sulit katamu.

Aku tahu, kau tak pernah ingin menghadapi hari esok, katamu seandainya hari esok bisa diskip pasti kebehagiaanmu akan lengkap. Tapi tetap saja kau tak pernah bisa menghentikan hari esok atas perintah tuhan. Nampaknya kau mampu menyelesaikan hari esok dengan senyummu, dan benar kau tersenyum kala kau menginjakkan kakimu keluar dari gerbang sekolahmu dan katamu “kau membuat soal sulit sekali, tapi tadi soalnya mudah tau..” Dan hanya senyum jawabku, itulah caraku agar kau bisa mengerjakan soal yang sulit padahal soalnya tak sesulit itu.

Aku hanya tak ingin kau tak mampu mengerjakannya kala tak ada lagi aku disampingmu. Selepas UN berakhir, benar aku demam tinggi, mamah tiriku pun kelimpungan merawatku. Apalagi kamu malam-malam nekat menyambangi rumahku ditemani mamahmu karena kau tahu aku demam tinggi. Ku kira itu malam-malam terakhirku, ternyata mobil yang dikendarai papah melintasi jalanan yang senyap menyelamatkanku dan dokterpun membantuku untuk selamat. Saat aku kritis aku tahu, kau galau bukan main mamahmu pun yang terkadang galak dan terkesan membenciku luluh lagi karena melihat keadaanku yang lunglai tak berdaya.

Aku didiagnosa memiliki penyakit kritis, tapi kau menguatkanku. Hampir tiap menit kau buang butiran-butiran air mata hanya untuk menangisiku padahal aku tak apa-apa, hanya saja dalamnya ginjalku menahan ketakutan untuk tak bernyawa lagi dan meninggalkan senyummu. Ku kira saat itu aku yang akan meninggalkanmu, aku berpesan padamu untuk mengingat janji kita di bawah matahari yang terbenam sore itu. Kau menangis sejadi-jadinya kala ucapan itu terluncur dalam dekapku. Tapi Tuhan berbaik hati padaku, mungkin katanya pertemuanku dengan mamah dipending dulu yah karena kasihan melihat wajahmu yang begitu memelas padaku untuk selalu kuat.

Setelah hampir 2 minggu aku menyambangi rumah sakit yang telah bosan mendengar rintihanku, aku bisa pulang ke rumah dengan wajah yang sangat tak wajar. Itu 2 minggu yang sangat berat bagiku dan kamu, karena ga bisa seneng-seneng seperti biasa. Hari-hari berlalu dan kepulihanku pun mendiami tubuhku, meski harus dibantu obat untuk melanjutkan sisa hidupku tapi tak apalah demi kamu, demi senyuman itu. Detik-detik pengumuman UN pun masih sempat aku rasakan, apalagi kamu saat penasaran dengan hasil matematikamu dengan hasil berguru padaku. Memang sempat kau rasakannya tapi hanya sebentar, kau malah pergi bersama supir pribadi papahmu untuk membeli kado untukku, bodohnya kamu saat itu mendustakanku.

Kau tak ingin diantar olehku kala itu, meski biasanya aku memaksa karena khawatir kau kenapa-napa. Dan benar, kau ijin padaku untuk pergi bersama pak Deo, dia supir pribadi papahmu yang sedang istirahat selepas mengantar majikannya pulang kantor. Entah apa yang ada dipikiran Pak Deo untuk mengantarkan anak dari Tuannya ke hadapan tuhan. Dijalan, saat jalannan licin setelah hujan mengguyuri sepanjang jalan, membuat mobil yang dikendarai Pak Deo tergelincir, padahal jaket adidas yang telah kau beli dan sudah kau bungkus rapih dengan hiasan yang kau minta pada pelayan di sebuah distro olahraga telah kau siapkan untukku, tapi ternyata bukan kamu yang memberikannya padaku, tapi mamahmu.

Kau pergi dengan waktu yang panjang dan sangat lama, bahkan kau tak pernah kembali mungkin kau menungguku disana, diujung peraduan saat aku tak pernah bisa berhenti melupakanku. Disaat semua menangis, apalagi mamahmu meronta-ronta berharap waktu kembali dan berhenti, tapi aku tak pernah menangisi kepergianmu hingga kini dan sampai nanti, aku bahagia karena kau kembali padanya. Berarti sudah berhenti tanggung jawabku untuk menjagamu, ku yakin kau bisa menjaga dirimu disana.

Kutitipkan dirimu pada Tuhan karena ku yakin Tuhan akan selalu menjagamu dengan baik dan dengan kasih sayangnya. Sampai kau hembuskan nafas terakhirmu, dan kau pergi meninggalkanku disini aku akan selalu menyayangi dan mencintaimu. Jaket yang kau titipkan adalah jaket pemberian terakhirmu dan akan selalu ku jaga. Kini kau bahagia disisi tuhan, dan aku telah bahagia bersama seorang wanita bernama Jelita, dia adalah kekasihku sekarang, maafkan aku bukan maksud hati ingi mengkhianatimu, tapi karena mamahmu yang memintaku untuk menjaga keponakannya itu dan dia sepupumu.

Berat sebenarnya kala mamahmu memintaku menjaganya, tapi aku tak berdaya karena ku tahu dia tak berkawan dan tak ada yang menjaganya makanya, kini aku beralih untuk menjaganya. Kau tahu, betapa sempurnanya nilai matematikamu saat UN, pasti kau akan bahagia kala kau dengar pengumuman UN kala itu, kau mendapatkan nilai yang hampir sempurna 98, bahkan aku kalah darimu yang hanya bisa mendapatkan nilai 95 saat itu. Dan hasil Ujianmu lah yang terbaik di Sekolahmu, meski tak bertuah tapi nilai itu hanya kau yang memiliki dan tak akan ada yang dapat menggantikannya. ku harap kita akan bersama dikala waktu yang menyatukan kita kembali beradu. Tunggu aku sayang di Surga, aku pasti akan menyambangimu nanti, kala Tuhan memintaku untuk kembali. Bahagialah kau disana dan jangan pernah kau menangis kala rindu menguras habis dirimu dan aku tak bisa menghapus tangis itu lagi.

Sumber: ajenganggellasari.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Bergambar

Orang Tua Dan Setan