Satu Rasa

Aku menarik tubuhku lebih dekat lagi ke dalam dekapannya yang hangat. Semua ini cukup membuatku bahagia. Bisa merasakan tubuh Nathan yang hangat saat ia memelukku erat. Semuanya sempurna malam ini sampai akhirnya Dave kembali muncul ke dalam pikiranku. Apa yang sedang ia lakukan sekarang? apa yang sedang ia pikirkan? apakah ia masih berharap bahwa aku akan kembali kepadanya? Apa ia masih berharap bahwa rasa yang telah mati ini akan kembali hidup? Ia pasti depresi sekali sekarang. Betapa bodohnya aku bisa menyakiti seseorang seperti dia yang jelas-jelas memberikan aku tempat terbaik dan ternyaman dihatinya. Dan aku meninggalkannya begitu saja dengan sejuta pisau yang kini sedang menyakitinya.
“Dave.” Bisik Nathan sambil mengusap pelan rambutku.
“You read my mind.”
“Baby, I’m not Edward Cullen. I can’t read your mind. But your eyes told me so.” Ia berusaha menutupi suaranya yang lirih dengan mencobanya selembut mungkin. Tapi aku sudah mengetahuinya ia menyembunyikan sesuatu dariku. Ia juga tersakiti. Aku sudah menyakiti dua lelaki sekaligus. Dua lelaki yang sama-sama menyayangiku.
“Dia pasti depresi sekali sekarang.”
Aku hanya terdiam begitu menyadari apa yang telah aku ucapkan. Ini sama saja aku membuka topik baru yang menjurus pada Dave. Yang pasti akan menyakitinya.
“Ini semua salahku.”
“Tidak.” bantahku.
“Ya.”
Aku melepaskan tangannya yang melingkari pinggangku. Dan mengubah posisiku dengan duduk dihadapannya. Kini aku bisa melihat wajahnya yang tampan. Aku tersenyum ketika menyadari sekarang ia adalah milikku. Walau bayangan Dave masih terus menghantuiku. Ia menatapku bingung dengan matanya yang hangat. Matanya yang berwarna hitam pekat.
“Ini semua salahku. Kalau aku tidak mati rasa mungkin aku tidak akan menyakitinya.” Aku meraih tangannya dan meremas tangannya.
Ia tersenyum lalu terkekeh sebentar dan kembali memasang wajahnya yang serius. “Kalau aku tidak memasuki kehidupanmu,” Nathan menarik tubuhku kembali kepelukannya, tapi aku menahan tubuhku untuk tidak bergerak. “kau tidak akan merasakan mati rasa sayang.”
“Mati rasa itu datang jauh sebelum kita dekat Nathan.” Kini Nathan ikut mengubah posisinya dengan duduk berhadapan denganku.
“It’s a sign.”
Aku diam tidak mengerti apa yang Nathan maksud. Kami saling menunggu salah satu dari kami membuka mulut dan Nathan tahu aku tidak akan bicara sampai ia yang memulainya. Selalu begitu.
“Hmmm…” Nathan bergumam dengan raut wajahnya yang seperti mencari sesuatu.
“Apa?” tanyaku polos.
“Mengapa kau lebih suka di panggil Andie –en’di-? Padahal kau mempunyai nama yang bagus, Eiffle Xavierra Anindya?”
“Karena aku menyukainya. Dan simple.”
“Mengapa kau memilihku?”
“Karena aku menyukaimu. Menyayangimu.”
“Mengapa kau meninggalkan Dave?”
Suasana berganti sunyi ketika pertanyaan itu muncul. Tapi dengan mantap dan mengalir begitu saja jawaban pun terucap dari mulutku. “I become a numb.”
“That’s why.”
“Tapi aku masih tidak mengerti.”
Nathan menghela nafas dan kembali bersandar pada tempat tidur sambil menarik tubuhku kembali ke dalam pelukannya. Aku tidak melawan kali ini dan membiarkan tubuhku begitu saja jatuh ke dalam pelukannya.
“There is only one sense, one flavour, one feel, one heart in your heart. Kau mungkin bisa saja menyalahkan hatimu atau dirimu sendiri atas semua yang telah terjadi pada Dave. Tapi secara tidak langsung itu semua salahku. Kalau aku tidak datang ke kehidupanmu kau tidak akan merasakan perasaan yang sekarang kau rasakan. Yang telah mengganti posisi Dave dari hatimu. Hanya ada satu rasa Andie. Dan kini aku lah yang menempati posisi itu. Dari situlah mengapa kau mati rasa pada Dave. Itu semua karena aku datang. Kedatanganku menggeser posisi Dave.”
Aku hanya diam dan berusaha mencerna semua kata-kata Nathan. Jadi karena itu semua Nathan tidak pernah merasa puas memilikiku, mengalahkan Dave, dan mendapatkan yang ia inginkan. Nathan merasa bersalah. Karena itu ia tidak selalu bahagia saat bersamaku. Ia tahu aku masih terus memikirkan Dave. Memikirkan Dave berarti sama saja dengan menyalahkan diri Nathan.
Aku mendongak menatap Nathan dan tersadar aku menangis. Aku terlalu lemah untuk ini semua. Akulah penyebab dua lelaki tersakiti. Aku menusuk Nathan dengan jarum yang tajam tapi aku menyertai benang kebahagiaan. Tetap saja jarum itu akan menyakitinya, meskipun benang itu akan membuatnya bahagia, jarum itu tidak akan berhenti menusuknya dan mengulang semuanya terus menerus.
Dave. Aku memberikan kehidupan yang sakit padanya. Bukannya kematian yang damai. Sekarang aku mengerti mengapa banyak orang yang sekarat di luar sana mengharapkan kematian dari pada kehidupan. Karena mereka akan tenang dalam kematian atau hidup dalam kesengsaraan. Mungkin itulah yang sekarang Dave rasakan.
“Nathan.” Aku memanggilnya dengan suaraku yang parau akibat air mata yang terus mengalir.
“Jangan menangis.” bisiknya sambil menarikku ke dalam pelukannya lebih dalam lagi.
Aku tidak mehiraukannya. “Maafkan aku. Kau tidak pantas menanggung semua perasaan bersalahmu. Kau benar. Hanya ada satu rasa dihatiku dan sekarang kaulah yang menempati posisi itu. Aku harus belajar melupakan Dave atau terus mengingatnya dan membuat kita sama-sama merasa tersakiti.”
Aku merasakan senyuman Nathan. “Aku menyangimu. Rasa ini hanya untukmu. Satu-satunya”
“Satu-satunya.” ucap Nathan sambil mengecup keningku.
Dave. Maafkan aku. But you deserve more than me. Nathanlah yang sekarang memiliki kuasa atas semua hatiku. Dialah pemiliknya. Aku tidak akan menyianyiakan apa yang telah aku dapatkan. Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Hanya ada 1 rasa. Dan Nathanlah yang memiliki itu.

Cerpen Karangan: Gita Dinda
Blog: http://kwopkilawthey.blogspot.com
Gita Dinda Primandari.
Twitter : @Gitaaadinda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Bergambar

Orang Tua Dan Setan