Rijst – Cerpen Motivasi Terbaru
Pagi hari jam 05.00. Aku sedang melamun sambil meminum teh pagi di
teras lantai dua rumah ku yang sederhana yang bertempat di sebuah
cluster, sehingga rumah ku tidak ada bedanya dengan rumah tetanggaku,
tetangganya tetanggaku, hingga
tetangga-tetangga-tetangga-tetangga-tetangga-tetangganya-tetanggaku.
“Kriiiiiing” jam alarm ku berbunyi tepat pada pukul 05.30 pagi menurut jam kamar ku, tanda aku harus segera berangkat bekerja. Aku segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Aku memutar suhu shower ku ke suhu yang paling pas, yang sudah aku tandai dengan tanda merah, hasil dari percobaan bertahun-tahun bereksperimen dengan shower ku. Setelah aku mandi kira-kira 15 menit, aku mengenakan kemeja kantoran, celana bahan dan sepatu pantofel kemudian segera pergi. “Mbak Num, saya pergi dulu ya!” teriakku kepada pembantu ku yang sedang mencuci gelas teh ku. “Hati-hati ya Nyo!” ujarnya. Nama ku Jaeman, tapi Mbak Num suka memanggilku “Nyo” dari nama “Sinyo”. Kata mbak Num sih arti kata “Sinyo” itu “Tuan”, tapi setelah aku googling ternyata arti kata “Sinyo” itu adalah anak laki-laki yang belum kawin, jomblo maksudnya, hanya kalimatnya di perhalus.
Aku berangkat ke kantor dengan mobil Toyota Kijang tahun 2000-an menuju kantor tempat aku bekerja sehari-hari. Jam 07.30 aku sampai di kantorku, duduk di bangku standard yang terletak di belakang meja standard untuk karyawan swasta bekerja. Setiap pagi selalu ada kopi yang di antar oleh seorang office boy, rasa kopinya tidak pernah berubah selama 5 tahun aku bekerja, selalu standard.
Dalam hatiku, aku sudah lelah mengerjakan rutinitas seperti ini. Aku sempat berpikir untuk menjadi seorang petani seperti dalam game harvest moon, aku hanya perlu menanam apa yang aku butuhkan untuk diriku sendiri. Misalnya aku ingin beras, aku tinggal menanam padi; bila aku butuh daging, aku tinggal memotong sapi atau ayam yang aku pelihara kemudian sisa dagingnya aku jual ke toko daging untuk membiayai listrik dan air. Bahkan kalau perlu aku akan membangun pembangkit listrik tenaga air di sungai terdekat untuk memenuhi kebutuhan listrik rumahku yang ada di perkebunan serta menggunakan listrik tersebut untuk menarik air dari sungai ke rumahku. Ide yang sangat brilliant, jika itu terwujud maka aku tidak perlu bayar listrik dan air. Namun di sinilah aku, terjebak dalam sebuah rutinitas perkantoran yang membosankan. Terjebak di belakang sebuah meja kantor standard dengan bangku standard bagaikan tawanan. Lagipula aku tidak punya tanah di perkampungan, apalagi yang di dekatnya ada sungai mengalir dimana aku bisa membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air. Aku hanyalah seorang pemimpi yang tidak bisa menerima kenyataan.
Akhirnya jam pulang kantor datang. Saat itu sangat membahagiakan bagaikan seorang tahanan akhirnya bebas dari sebuah penjara yang disebut kantor itu.
“,Nyo, kamu ini wes dapet kerjaan ya disyukuri to, moso maune bebas terus ” kata mbak Num setiap kali aku mengeluh tentang rutinitas kantoran yang membosankan. Memang menyedihkan, bukan tentang aku tidak mensyukuri pekerjaan yang telah aku tekuni 5 tahun ini, tapi tentang setiap kali aku bercerita hanya kepada pembantu ku. Bayangkan, seorang majikan berumur 26 tahun curhat kepada seorang pembantu berumur 45 tahun. Tapi tidak apa-apa, mbak Num sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, mbak Num sangat bersedia mendengarkan apapun curhatan ku. Setelah ngobrol dengan mbak Num, aku menuju kamar tidurku untuk segera tidur.
Keesokan harinya aku merasa malas untuk menuju ke kantor. Menuju ke kantor rasanya seperti menyerahkan diri kedalam penjara. Setiba di ‘penjara’, aku hanya menunggu sampai waktu nya untuk ‘bebas’ telah tiba. Dan begitulah yang aku rasakan dari hari senin sampai jumat, hanya merasakan bosannya masuk ke kantor yang ku sebut sebagai penjara dan kemudian bebas.
“Halo? Ini de Jaeman, bukan?”
“Iya, ini saya sendiri. Dengan siapa ya?”
“Saya kerabatnya Cokro, hari ini atau besok kamu bisa bertemu saya di Rijst di daerah Prasista tidak de?”
“Dimana, pak? Rist? Ritz?”
“Rijst, R-i-j-s-t”
Aku hening sejenak orang itu menelpon pada Sabtu pagi pukul 05.30. Aku masih tertidur dengan lelap sampai telpon dengan ringtone berisik itu berbunyi.
Cokro? Cokro itu nama almarhum engkongku ‘kan? Pikirku dalam hati.
“Ya, nanti saya datang” Ujarku sambil menahan rasa kantuk ku.
“Baik, jika sudah sampai tolong cari saya ya!” Bapak itu kemudian menutup telponnya tanpa memberi informasi apapun tentang namanya atau nama jalannya. Hanya memberikan informasi tentang bagaimana cara mengeja tempat itu, yaitu R-i-j-s-t.
Aku baru tersadar, aku baru menyetujui untuk pergi ke daerah yang berjarak kurang lebih 4 jam perjalanan. Aku sekarang memiliki teori, cara paling baik mendapatkan persetujuan dari seseorang adalah dengan menelponnya pagi-pagi, disaat ia masih terlelap dalam tidur dan akhirnya terbangun secara tiba-tiba karena ada telepon. Untung saja bapak itu menelepon di hari Sabtu dimana adalah hari ‘penjara’ku libur.
Secara terpaksa aku bangun dari tempat tidur ku, kemudian mengambil handuk dan akhirnya mandi. Sengaja aku tidak menggunakan kombinasi suhu yang terbaik, sebaliknya aku menggunakan air dengan temperatur paling dingin berharap agar aku dapat sepenuhnya terbebas dari ngantuk yang seakan masih menutupi mataku dengan tangan kuatnya. Setelah mandi, aku memakai kaos serta mengenakan celana jeans dan kemudian pergi menuju ke daerah itu dengan menggunakan mobil.
Aku telah sampai di daerah Prasista, aku mengetahuinya karena aku telah melewati sebuah gerbang besar dengan tulisan “Selamat datang di daerah Prasista” di atasnya. Aku menghabiskan waktu 45 menit untuk mencari-cari sendiri dimanakah letak Rijst itu dengan berkeliling di sekitar daerah itu dan hasilnya nihil. Kemudian aku bertanya kepada warga sekitar tentang letak Rijst itu, ada beberapa orang yang tidak tahu, ada juga yang tahu tapi sayangnya aku tidak ingat ke arah mana saja setelah ‘lurus, sampai perempatan nanti belok ke kanan. Setelah itu jalanan menanjak kemudian belok kiri,lurus lagi, dan sampai pertigaan ambil …’. Ternyata kata yang kulupakan setelah ‘sampai pertigaan ambil’ itu adalah ‘belok kiri, lurus, belok kanan, nah Rijst ada di sebelah kiri nanti’ kata-kata itu dilengkapi oleh orang lain yang ku tanya di sekitar pertigaan tersebut.
Sesampaiku di Rijst, aku terpana dengan keindahan suasana persawahan hijau yang cukup luas dengan aliran air sungai serta kincir air yang berada di permukaan aliran air tersebut dan ditambah dengan beberapa kandang sapi serta kuda sekitar 10 meter dari satu-satunya rumah yang berada di persawahan sekitar beberapa ribu meter persegi ini. Ini adalah tempat ideal untuk mewujudkan ‘hidup tanpa pengeluaran uang’ yang beberapa lama ini selalu mengusik pikiranku. Setelah sekitar 10 menit aku melihat pemandangan di Rijst ini, aku memutuskan untuk menghampiri rumah sederhana berwarna putih dengan atap hijau dengan pagar tersebut. Aku memiliki keyakinan bahwa bapak yang menelponku tadi pagi akan berada di rumah ini.
“Permisi, saya Jaeman” teriakku sambil mengetukan gembok yang terkunci ke pagar, berharap penghuninya bisa mendengar ketukan gembok itu.
Tidak ada yang menghampiri.
“Permisi, saya Jaeman” teriakku ulang.
Masih tidak ada yang menjawab.
“Hooo, dek Jaeman ya?” Aku mendengar suara seseorang dari belakangku, kemudian aku membalikan badanku.
“Maaf saya baru selesai membersihkan kandang sapi, mari masuk” kata orang itu sambil membuka gembok mempersilahkanku masuk.
Aku memasuki sebuah rumah dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Rumahnya begitu sederhana menurutku. Perabotan di rumah itu hanya ada seperangkat peralatan masak yang berada di dapur, sebuah meja sederhana dengan dua buah bangku di sisinya, serta sebuah tv tabung 14 inch. Bapak itu menyuguhkan ku secangkir teh manis hangat, minuman yang sangat tepat di daerah dengan lingkungan sejuk ini.
“Saya mandi dulu ya de, ga enak kalo berbicara panjang lebar dengan orang yang bau tahi sapi kan? Hahahaha”
“Iya, pak. Silahkan” Kataku kepada bapak itu sambil memberikan senyuman.
Setelah 5 menit menunggu, bapak itu keluar dengan rambut tersisir rapi, kaos oblong berwarna putih, dan celana karet pendek. Bapak ini pun membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri. Bagaimana bapak ini bisa melepas bajunya, mengambil handuk, sabunan, mengeringkan tubuhnya, memakai kaos, memakai celana, memanaskan air di dapur, mencelupkan teh, memasukan gula, mengaduknya dan melakukan hal sebanyak itu semua dalam waktu lima menit?
“Maaf sudah membuatmu menunggu lama de Man.”
“Ah, tidak lama kok pak. Jadi kenapa bapak memanggil saya ke sini?”
“Ceritanya sangat panjang de Man. Tapi pertama-pertama nama saya Galib, saya rekan kerja kakekmu, Cokro-”
“Tunggu, rekan kerja? Berarti bapak sudah umur berapa?” aku memotong kalimat bapak ini.
“Sekarang ini saya sudah berumur 80 tahun. Saya lanjutkan, saya dan kakekmu membangun Rijst ini sejak kami berusia 26 tahun. Sejak itu, setiap hari Sabtu dan Minggu kakekmu selalu ke Rijst untuk membantu saya mengerjakan pekerjaan di ladang dan di kandang. Namun sejak nenekmu, Lela meninggal, dan ibu-mu, Mega cukup dewasa untuk bisa hidup sendiri di kota, Cokro pindah dan tinggal di Rijst bersama saya. Kami berdua mengurus Rijst ini tanpa bantuan orang lain, dan kami berhasil memenuhi kebutuhan kami dari Rijst ini” Bapak-atau yang lebih cocok ku sebut mbah karena umurnya, namun masih seperti bapak-bapak karena fisiknya yang selalu di latih bekerja- menjelaskan panjang lebar tentang silsilah keluarga ku dan asal mula Rijst ini. Aku tidak mengetahui Rijst ini, karena ibu-ku meninggal saat aku masih bayi, dan ayahku pun tidak pernah bercerita tentang Rijst ini, mungkin karena ayahku tidak tahu.
Kemudian pak Galib melanjutkan ceritanya.
“Sayang sekali Cokro harus meninggalkan saya dan Rijst di saat ia berumur 65 tahun.” Pak Galib berhenti sejenak untuk menyeruput teh hangatnya yang sudah mendingin karena terlalu lama di diamkan.
“Lalu apa hubungannya engkong, Rijst, bapak dengan saya?” Tanya ku.
“Nah, saat Cokro mau meninggal, ia berkata kalau ada apa-apa dengan Rijst, hubungi saja anaknya. Namun karena Mega telah meninggal, aku menghubungi kamu, cucunya.”
“Memang ada apa dengan Rijst, pak?” Tanyaku.
Pak Galib terdiam sebentar. “Lebih baik kita berbincang-bincang sambil berjalan berkeliling Rijst, dek Man.”
Aku menuruti ajakan pak Galib dan berkeliling-keliling melihat pemandangan di Rijst. Rijst adalah sebuah persawahan yang dikombinasikan dengan peternakan sapi serta kuda. Namun dirancang sedemikian rupa sehingga sapi-sapi dan kuda-kuda tidak berjalan menuju persawahan. Persawahan Rijst dibagi menjadi tiga bagian yang tertata dengan rapi. Ada untuk padi, untuk sayur-sayuran, dan untuk rempah-rempah seperti lada dan lain-lain. Sedangkan listrik Rijst diperoleh dari kincir air yang berputar seiring dengan aliran sungai.
“Kincir air itu buatan mahasiswa teknik loh. Berkat mahasiswa-mahasiswa itu Rijst jadi tidak perlu membayar listrik lagi” kata pak Galib bangga.
Kemudian kami menuju ke kandang sapi dan kuda, Rijst memiliki 9 sapi perah dan 2 kuda jantan. Kandang-kandang di sini juga cukup bersih karena selalu dibersihkan oleh pak Galib.
“Di sini pak Galib kerja sendiri?” aku bertanya
“Di hari biasa sih iya, saya biasa bekerja dari pagi sampai sore untuk menyelesaikan ini semua, namun sekarang di setiap hari Sabtu dan Minggu ada sekitar tiga sampai lima warga sekitar yang mau membantu saya mengurus Rijst secara bergantian. Oleh karena itu, sekarang Rijst tidak hanya menjadi milik saya dan Cokro saja, sekarang Rijst juga milik warga sekitar sini.” Pak Galib berkata sambil tersenyum.
“Namun, ada beberapa pihak yang merasa Rijst hanyalah sebuah pertanian dan peternakan biasa, Rijst terancam hilang karena nanti akan ada pembangunan sebuah pabrik di sini.” Kata pak Galib dengan ekspresi tenang namun tersirat sedikit kekhawatiran di wajahnya.
Aku terenyuh mendengarnya, ada keinginan dari dalam diriku untuk mempertahankan Rijst ini. Namun aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kurasa pak Galib salah saat pertama kali ia meneleponku. Seharusnya ia menelpon agen tanah atau notaris atau polisi bahkan kalau perlu tentara untuk melindungi Rijst ini.
“Oleh karena itu, sesuai dengan wasiat Cokro, aku menghubungi cucunya. Tapi saya sendiri tidak tahu apa yang bisa kamu lakukan untuk mencegah pembangunan pabrik ini.” Kata pak Galib pasrah.
“Memang perusahaan apa yang mau mendirikan pabrik di sini, pak?”
“Perusahaan Lentera Abadi. Rencananya dalam tiga bulan kedepan perusahaan itu akan melakukan dialog dengan kepala daerah untuk membicarakan pembangunan. Dan kemungkinan pembangunannya akan dilakukan di bulan Mei dua tahun mendatang.”
Aku kaget, Perusahaan Lentera Abadi adalah perusahaan dimana aku bekerja. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sebagian dari diriku ingin melindungi Rijst ini, namun sebagian lagi dari diriku tidak ingin ikut campur dalam urusan ini. Di belahan dunia lain pasti ada banyak Rijst-Rijst seperti ini yang nasibnya diakhiri dengan pembangunan sektor industri. Sang pemilik perusahaan tidak akan mau tahu tentang cerita suka-duka nya orang-orang seperti pak Galib dalam mengelola sebuah tanah yang akan mereka hancurkan nanti, mereka hanya mengerti tentang bagaimana cara mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan hal itu membuatku sedikit kesal.
Akhirnya kami kembali ke rumah sederhana itu lagi setelah beberapa jam berkeliling di Rijst. Waktu menunjukan pukul 16.00. Jika aku pulang sekarang maka aku akan sampai di rumahku sekitar jam setengah sembilan. Namun pak Galib mengajakku supaya aku bermalam saja di sini, katanya tidak baik mengendarai mobil malam-malam. Dengan agak terpaksa aku menerima undangan pak Galib tersebut.
Malam hari di Rijst sangat berbeda dari malam-malam di kota. Di sini sangat tenang, jika kau keluar dari rumah saat malam, kau dapat melihat kerlip-kerlip indah bintang di langit dan mendengar suara-suara hewan yang terdiri dari serangga-serangga, burung-burung malam, suara sapi dan sedikit suara kuda; suasana di Rijst pun sangat sejuk hingga kau tidak perlu AC, malah kau membutuhkan sesuatu yang bisa menghangatkanmu. Walau suasananya indah dan tenang, tempat tidurnya adalah satu-satunya nilai minus. Tempat tidur kapuk keras, dengan bantal kapuk keras dan guling kapuk yang kapuknya terkonsentrasi di ujung-ujung guling. Aku merasa lebih baik aku tidur di lantai daripada dengan kasur ini.
Pagi harinya, aku dibangunkan oleh sesosok bapak-bapak yang
berdiri di sampingku yang ternyata adalah pak Galib. Matahari belum
terbit, aku menduga sekarang masih jam empat pagi.
“Mari kamu bantu saya berladang dan berternak.” Itu adalah kata-kata pertama yang kudengar di hari minggu pagi, bukan kata “Selamat pagi, de Man. Semoga minggu-mu menyenangkan”, tapi kata-kata ajakan untuk bekerja di hari istirahatku.
“Heeemmm” kataku kepada pak Galib. Aku belum sepenuhnya tersadar dari tidurku.
“Sudah cepat bangun, minum teh hangatnya kemudian bantu saya bekerja!”
“Iyaaa iyaaaaa” kataku malas.
Aku kemudian membantu pak Galib bekerja di ladang dengan menyiram tanaman rempah-rempah sedangkan pak Galib bekerja mengurusi padi-padinya. Kemudian kami memetik sayur-sayuran yang sudah masak dan memilah-milah sayuran itu, beberapa sayuran yang baik diambil untuk makan pak Galib, kemudian sisanya di ambil oleh pedagang pasar untuk dijual di pasar. Pedagang itu nanti siang akan kembali dari pasar dan memberikan uang hasil penjualan kepada pak Galib. Sesudah memilah-milah sayuran itu, kami menuju ke kandang sapi. Saya diajari cara membersihkan kotoran sapi dari kandang, menaruh makanan ke tempat makan sapi, membersihkan sapi, serta cara memerah susu sapi agar aku tidak di tending oleh sapinya. Setelah melakukan itu semua, kami ke kandang kuda untuk membersihkan kandang kuda, memberikan makan jerami, serta memandikan kuda. Sebagai bonus, pak Galib memperbolehkan saya menunggangi si Hitam, kuda Rijst.
Kami baru selesai mengerjakan tugas-tugas kami jam dua siang. Saya merasa sangat kelelahan, namun pak Galib tidak menunjukan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.
“Pak Galib, ini uang hasil dagang sayurannya, tidak banyak hari ini.” Pedagang pasar yang tadi pagi mengambil hasil panenan sayur Rijst datang ke rumah.
“Oh, begitu ya. Yasudah uang hasil penjualannya buat kamu saja” Kata pak Galib dengan santainya.
“Wah, terimakasih banyak ya, pak! Kalau begitu saya pulang dulu” Pedagang itu membalas dengan ceria.
“Pak, kenapa uangnya ga di ambil?” Tanyaku.
“Buat apa uang?”
“Ya, buat bapak membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari”
“Tidak, dek Man. Saya sudah cukup dengan hidup seperti ini. Lagipula saya percaya uang tidak akan kemana. Jika memang uang sebesar tadi itu adalah milik saya, maka nanti uang tersebut juga akan datang sendiri kepada saya”
Aku terkesima, baik sekali teori pak Galib.
“Nah, sudah jam setengah tiga sekarang. Kamu mau kembali lagi ke kota kan, dek Man?” Tanya pak Galib
“Sepertinya iya, pak. Saya harus bekerja lagi di hari senin nanti.”
“Wah, sayang sekali ya, padahal saya ingin kamu membantu pak tua ini mengurusi Rijst setiap hari. Yasudah, mandi sana dulu, kalau langsung pulang nanti mobilmu bisa bau tahi sapi.” Kata pak Galib. Aku tidak mengerti kenapa pak Galib selalu membawa-bawa ‘tahi sapi’ di setiap leluconnya.
Setelah mandi, jam tiga siang aku-pun pergi ke kota stelah berpamitan kepada pak Galib. Aku meninggalkan Rijst dibekali dengan satu kantong plastic berisi sayuran yang baru aku petik tadi pagi. Sesampaiku di rumah, aku memberikan sayuran itu kepada mbak Num.
“Habis wisata sawah ta, Nyo?”
“Enggak, saya habis berkunjung ke sawah kerabat engkok, mbak”
“Oh, soalnya saya liat di tv, kayaknya sekarang wisata-wisata alam lagi nge-trend, Nyo.”
Aku hanya memberikan senyuman kepada mbak Num, dan kemudian menuju ke kamarku untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan. Namun ada sebuah ide liar datang ke kepalaku, mengapa Rijst tidak dijadikan tempat wisata alam saja? Disana orang-orang bisa bersawah, menanam padi, dan lain-lain. Kemudian kami meminta dukungan warga dan orang-orang yang berwisata supaya Rijst tidak dihilangkan. Ide yang sangat cemerlang! Ide ini sangat cemerlang hingga bersaing dengan ide ‘hidup tanpa uang’ yang selalu menjadi kebanggaanku. Aku menjadi tidak sabar kembali ke Rijst untuk memberitahukan ide cemerlang ini kepada pak Galib.
Di kantor pun aku bertanya kepada atasanku tentang hal ini. Aku bertanya, apa yang terjadi jika lahan yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik adalah lahan yang digunakan untuk orang-orang berwisata alam.
“Tentu pembangunan akan dibatalkan karena terlalu banyak resikonya jika perusahaan menggunakan tanah tempat wisata. Namun pengelola tanah juga tidak akan menerima uang ratusan juta dari perusahaan karena pembelian tanah dibatalkan.” Kata atasan kepadaku. Jawaban yang sangat memuaskan untukku.
Hari Sabtu pun tiba, jam empat pagi aku bangun dan segera mandi kemudian bergegas menuju Rijst untuk memberitahukan ide itu kepada pak Galib.
“Jadi pak, saya punya ide, mengapa tidak menjadikan Rijst sebagai tempat wisata perkebunan dan peternakan saja? Kemudian kita cari dukungan dari pengunjung untuk menolak pembangunan industri” Kataku dengan semangat.
“Ya, itu sih boleh saja, de Man. Tapi Rijst kayaknya terlalu kecil jika di datangi oleh sekian ratus orang secara bersamaan.”
“Itu bisa kita akali, pak. Mungkin Rijst dibuat menjadi sebuah tempat wisata alam dengan kuota beberapa puluh orang. Orang yang mau berwisata harus melakukan reservasi dulu via telpon. Orang orang yang berwisata nanti bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan sawah yang ringan, bisa menyiram tanaman rempah, memberi makan sapi, menunggang kuda atau hal-hal lainnya pak. Dan kita nantinya hanya akan meminta sumbangan sukarela untuk pengelolaan Rijst ke depan. Bagaimana?” Tanyaku bersemangat
“Ya, ide nya dek Man sih bagus menurut saya. Tapi saya tidak mampu mengelola tempat wisata sendirian, dek. Lagipula, memang ada orang yang mau membayar setelah bekerja di sawah dan di kandang? Masa sudah jadi pembantu, disuruh bayar pula?!”
“Masalah pengelolaan itu belakangan, pak. Yang penting kita harus menyebarkan tentang Rijst ke seluruh daerah. Karena belakangan ini banyak keluarga yang mencari tempat wisata alam. Jadi Rijst pasti ada pengunjungnya, pak.”
“Sepertinya bagus kalau begitu. Kapan kita bisa membuka Rijst untuk umum?” Tanya pak Galib semangat.
“Secepatnya, pak. Saya akan menggunakan nomor telepon rumah ini sebagai nomor telepon reservasi Rijst, pak. Nanti bapak hanya tinggal mencatat nama orang yang menelepon, jumlah orang yang datang, dan hari serta jam berapa datangya. Mudah kan?” Kata ku.
“Emm, iya. Sepertinya saya bisa kalau hanya mengangkat telepon dan mencatat.” Kata pak Galib seperti sedang merenungkan sesuatu.
“Karena masih baru, Rijst hanya dibuka di hari Sabtu dan Minggu saja, pak. Dan saya akan datang setiap Sabtu dan Minggu untuk membantu.” Kata ku.
Ini adalah sesuatu yang baru bagi aku dan pak Galib. Setelah berbincang-bincang mengenai tempat wisata Rijst itu, kami kemudian bekerja di sawah dan di peternakan untuk melakukan tugas harian. Di malam harinya, aku duduk di teras depan rumah Rijst dengan secangkir teh, menikmati suasana alam yang indah dan tenang ini.
“Ini adalah sesuatu yang aku inginkan, kebebasan seperti ini dan suasana seperti ini adalah yang aku cari-cari selama ini.” Pikirku dalam hati.
Di hari Minggu, aku pulang ke kota setelah membantu pak Galib. Hari ini aku selesai lebih cepat karena ada 5 warga sekitar yang membantu. Sesampai di kota, aku langsung membuat promosi tentang Rijst di internet. Aku menulis tentang Rijst, apa yang bisa dilakukan di sana, kelebihan-kelebihan Rijst, biaya yang sukarela serta nomor reservasi Rijst.
Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan telepon dari pak Galib bahwa hari sabtu nanti akan ada dua puluh delapan orang yang datang ke Rijst. Suara pak Galib terdengar senang di telepon.
“Terima kasih, dek Man.” Kata pak Galib dengan suara yang tenang.
“Terima kasih buat apa, pak?”
“Kamu telah memberikan jalan supaya Rijst tetap bisa dipertahankan, bagi saya bukan hanya Rijst yang penting, tetapi semua kenangan dan pengalamanlah yang membuat Rijst ini berharga bagi saya.”
Aku terharu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menjawab “Ya, Rijst sekarang tidak hanya penting bagi pak Galib saja, sekarang Rijst juga penting buat saya. Karena di Rijst saya mendapatkan apa yang saya inginkan selama ini. Jadi, terima kasih juga telah mengenalkan saya dengan Rijst, pak.”
Pak Galib menutup teleponnya setelah perbincangan yang cukup mengharukan itu. Aku terdiam sejenak. Ada kelegaan dan keharuan yang menyelimuti jiwa ku. Kelegaan akhirnya ide tempat wisata itu bisa berjalan dan keharuan karena aku telah membantu mempertahankan sesuatu yang penting bagi seseorang.
Di hari Jumat, aku pulang dari kantor dan kemudian aku langsung pergi lagi menuju Rijst pada Jumat malam nya. Namun sekarang ada yang berbeda, karena aku mengajak mbak Num ke Rijst juga. Aku sampai di Rijst jam 12 malam. Pak Galib belum tertidur, ia mengaku tidak bisa tidur jika memikirkan besok adalah hari dimana Rijst berubah. Aku hanya tersenyum, aku menyuruh bapak tua itu tidur supaya besok bisa bangun dengan kondisi yang baik. Aku kembali tidur di kamarku dengan kasur kapuk itu, tetapi aku mempersilahkan mbak Num tidur di kasur kapuk, dan aku tidur di lantai. Lebih nyaman menurut ku.
Keesokan harinya, aku bangun jam empat pagi. Kami melakukan pekerjaan di sawah yang tidak akan dilakukan oleh pengunjung nanti seperti menyemprotkan pestisida serta membersihkan kotoran sapi dan kuda. Jam setengah delapan pagi, kunjungan dua puluh delapan orang itu datang. Aku menyambut mereka dengan kata-kata “Selamat datang di Rijst, tempat dimana kenangan dan pengalaman bergabung menjadi satu.” Kemudian aku mengajak mereka berkeliling Rijst dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sawah. Dibutuhkan waktu lima jam untuk menyelesaikan wisata ini, karena pengunjung bisa menyiram tanaman, memetik sayur-sayuran, memberi makan sapi, memandikan sapi, memerah susu sapi dan akhirnya berkuda secara bergantian. Pengunjung kemudian boleh berkeliling-keliling Rijst dengan bebas namun tidak merusak apapun. Sepulangnya, para pengunjung memberikan sumbangan sukarelanya. Tidak lupa juga aku memberitahukan bahwa tiga tahun nanti ada kemungkinan Rijst akan dihilangkan karena akan dibangun sebuah pabrik.
Sudah tiga bulan Rijst dibuka untuk umum, dan sudah empat bulan aku mengenal Rijst dan pak Galib. Semua kenangan-kenangan ini tidak akan aku lupakan. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Rijst selalu di datangi oleh para pengunjung. Aku selalu menyambut para pengunjung dengan kalimat pembuka “Selamat datang di Rijst, tempat dimana kenangan dan pengalaman bergabung menjadi satu.” dan selalu bercerita tentang pembangunan industri tiga tahun nanti.
Namun ada sesuatu yang mengusikku di hari Sabtu sore ini. Seperti perasaan yang tidak enak, yang mengganjal jiwa sehingga membuatku sesak. Pak Galib malam itu mengaku kurang enak badan dan ingin tidur cepat, aku memberikannya obat dan mempersilahkan ia tidur duluan. Tak kusangka hari Sabtu itu adalah hari terakhir pak Galib, ia meninggal secara tenang di kamarnya. Aku mengetahuinya saat Minggu pagi, aku memasuki kamarnya untuk membangunkannya, namun ia tidak bangun dan akhirnya aku menyadari bahwa ia telah meninggal. Di tangannya ada sepucuk surat.
“Kepada dek Jaeman,
Saya merasa keinginan saya untuk mempertahankan Rijst telah terpenuhi. Oleh karena itu saya bisa pergi dengan tenang. Jaga Rijst baik-baik. Saya memberikan Rijst kepadamu. Semoga di tanganmu Rijst akan menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih baik daripada Rijst yang Cokro dan saya tinggalkan. Semangatmu untuk mempertahankan Rijst ini pasti akan memberikan buah manis tersendiri. Beribu-ribu terima kasih kepadamu, dek Jaeman.
NB: Ada catatanku tentang bertani dan beternak di bawah kasurku. Pelajarilah baik-baik!
Dari Galib”
Aku terharu membaca surat itu. Rijst telah benar-benar memberikan pengalaman dan kengangan indah untukku. Sejak itu, aku meninggalkan kantorku di kota dan memutuskan untuk pindah dari kota ke Rijst bersama dengan mbak Num untuk merawat Rijst. Aku berusaha keras untuk mempertahankan Rijst ini dengan melakukan penambahan fasilitas-fasilitas demi kenyamanan berekreasi.
Bulan Mei, tiga tahun setelah aku mengenal Rijst, tidak ada tanda-tanda akan dibangunnya pabrik di sini.
PROFIL PENULIS
Facebook: Stefanus Christian Effendi
No. Urut : 735
Tanggal Kirim : 19/03/2013 21:52:04
“Kriiiiiing” jam alarm ku berbunyi tepat pada pukul 05.30 pagi menurut jam kamar ku, tanda aku harus segera berangkat bekerja. Aku segera mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Aku memutar suhu shower ku ke suhu yang paling pas, yang sudah aku tandai dengan tanda merah, hasil dari percobaan bertahun-tahun bereksperimen dengan shower ku. Setelah aku mandi kira-kira 15 menit, aku mengenakan kemeja kantoran, celana bahan dan sepatu pantofel kemudian segera pergi. “Mbak Num, saya pergi dulu ya!” teriakku kepada pembantu ku yang sedang mencuci gelas teh ku. “Hati-hati ya Nyo!” ujarnya. Nama ku Jaeman, tapi Mbak Num suka memanggilku “Nyo” dari nama “Sinyo”. Kata mbak Num sih arti kata “Sinyo” itu “Tuan”, tapi setelah aku googling ternyata arti kata “Sinyo” itu adalah anak laki-laki yang belum kawin, jomblo maksudnya, hanya kalimatnya di perhalus.
Aku berangkat ke kantor dengan mobil Toyota Kijang tahun 2000-an menuju kantor tempat aku bekerja sehari-hari. Jam 07.30 aku sampai di kantorku, duduk di bangku standard yang terletak di belakang meja standard untuk karyawan swasta bekerja. Setiap pagi selalu ada kopi yang di antar oleh seorang office boy, rasa kopinya tidak pernah berubah selama 5 tahun aku bekerja, selalu standard.
Dalam hatiku, aku sudah lelah mengerjakan rutinitas seperti ini. Aku sempat berpikir untuk menjadi seorang petani seperti dalam game harvest moon, aku hanya perlu menanam apa yang aku butuhkan untuk diriku sendiri. Misalnya aku ingin beras, aku tinggal menanam padi; bila aku butuh daging, aku tinggal memotong sapi atau ayam yang aku pelihara kemudian sisa dagingnya aku jual ke toko daging untuk membiayai listrik dan air. Bahkan kalau perlu aku akan membangun pembangkit listrik tenaga air di sungai terdekat untuk memenuhi kebutuhan listrik rumahku yang ada di perkebunan serta menggunakan listrik tersebut untuk menarik air dari sungai ke rumahku. Ide yang sangat brilliant, jika itu terwujud maka aku tidak perlu bayar listrik dan air. Namun di sinilah aku, terjebak dalam sebuah rutinitas perkantoran yang membosankan. Terjebak di belakang sebuah meja kantor standard dengan bangku standard bagaikan tawanan. Lagipula aku tidak punya tanah di perkampungan, apalagi yang di dekatnya ada sungai mengalir dimana aku bisa membangun sebuah pembangkit listrik tenaga air. Aku hanyalah seorang pemimpi yang tidak bisa menerima kenyataan.
Akhirnya jam pulang kantor datang. Saat itu sangat membahagiakan bagaikan seorang tahanan akhirnya bebas dari sebuah penjara yang disebut kantor itu.
“,Nyo, kamu ini wes dapet kerjaan ya disyukuri to, moso maune bebas terus ” kata mbak Num setiap kali aku mengeluh tentang rutinitas kantoran yang membosankan. Memang menyedihkan, bukan tentang aku tidak mensyukuri pekerjaan yang telah aku tekuni 5 tahun ini, tapi tentang setiap kali aku bercerita hanya kepada pembantu ku. Bayangkan, seorang majikan berumur 26 tahun curhat kepada seorang pembantu berumur 45 tahun. Tapi tidak apa-apa, mbak Num sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, mbak Num sangat bersedia mendengarkan apapun curhatan ku. Setelah ngobrol dengan mbak Num, aku menuju kamar tidurku untuk segera tidur.
Keesokan harinya aku merasa malas untuk menuju ke kantor. Menuju ke kantor rasanya seperti menyerahkan diri kedalam penjara. Setiba di ‘penjara’, aku hanya menunggu sampai waktu nya untuk ‘bebas’ telah tiba. Dan begitulah yang aku rasakan dari hari senin sampai jumat, hanya merasakan bosannya masuk ke kantor yang ku sebut sebagai penjara dan kemudian bebas.
“Halo? Ini de Jaeman, bukan?”
“Iya, ini saya sendiri. Dengan siapa ya?”
“Saya kerabatnya Cokro, hari ini atau besok kamu bisa bertemu saya di Rijst di daerah Prasista tidak de?”
“Dimana, pak? Rist? Ritz?”
“Rijst, R-i-j-s-t”
Aku hening sejenak orang itu menelpon pada Sabtu pagi pukul 05.30. Aku masih tertidur dengan lelap sampai telpon dengan ringtone berisik itu berbunyi.
Cokro? Cokro itu nama almarhum engkongku ‘kan? Pikirku dalam hati.
“Ya, nanti saya datang” Ujarku sambil menahan rasa kantuk ku.
“Baik, jika sudah sampai tolong cari saya ya!” Bapak itu kemudian menutup telponnya tanpa memberi informasi apapun tentang namanya atau nama jalannya. Hanya memberikan informasi tentang bagaimana cara mengeja tempat itu, yaitu R-i-j-s-t.
Aku baru tersadar, aku baru menyetujui untuk pergi ke daerah yang berjarak kurang lebih 4 jam perjalanan. Aku sekarang memiliki teori, cara paling baik mendapatkan persetujuan dari seseorang adalah dengan menelponnya pagi-pagi, disaat ia masih terlelap dalam tidur dan akhirnya terbangun secara tiba-tiba karena ada telepon. Untung saja bapak itu menelepon di hari Sabtu dimana adalah hari ‘penjara’ku libur.
Secara terpaksa aku bangun dari tempat tidur ku, kemudian mengambil handuk dan akhirnya mandi. Sengaja aku tidak menggunakan kombinasi suhu yang terbaik, sebaliknya aku menggunakan air dengan temperatur paling dingin berharap agar aku dapat sepenuhnya terbebas dari ngantuk yang seakan masih menutupi mataku dengan tangan kuatnya. Setelah mandi, aku memakai kaos serta mengenakan celana jeans dan kemudian pergi menuju ke daerah itu dengan menggunakan mobil.
Aku telah sampai di daerah Prasista, aku mengetahuinya karena aku telah melewati sebuah gerbang besar dengan tulisan “Selamat datang di daerah Prasista” di atasnya. Aku menghabiskan waktu 45 menit untuk mencari-cari sendiri dimanakah letak Rijst itu dengan berkeliling di sekitar daerah itu dan hasilnya nihil. Kemudian aku bertanya kepada warga sekitar tentang letak Rijst itu, ada beberapa orang yang tidak tahu, ada juga yang tahu tapi sayangnya aku tidak ingat ke arah mana saja setelah ‘lurus, sampai perempatan nanti belok ke kanan. Setelah itu jalanan menanjak kemudian belok kiri,lurus lagi, dan sampai pertigaan ambil …’. Ternyata kata yang kulupakan setelah ‘sampai pertigaan ambil’ itu adalah ‘belok kiri, lurus, belok kanan, nah Rijst ada di sebelah kiri nanti’ kata-kata itu dilengkapi oleh orang lain yang ku tanya di sekitar pertigaan tersebut.
Sesampaiku di Rijst, aku terpana dengan keindahan suasana persawahan hijau yang cukup luas dengan aliran air sungai serta kincir air yang berada di permukaan aliran air tersebut dan ditambah dengan beberapa kandang sapi serta kuda sekitar 10 meter dari satu-satunya rumah yang berada di persawahan sekitar beberapa ribu meter persegi ini. Ini adalah tempat ideal untuk mewujudkan ‘hidup tanpa pengeluaran uang’ yang beberapa lama ini selalu mengusik pikiranku. Setelah sekitar 10 menit aku melihat pemandangan di Rijst ini, aku memutuskan untuk menghampiri rumah sederhana berwarna putih dengan atap hijau dengan pagar tersebut. Aku memiliki keyakinan bahwa bapak yang menelponku tadi pagi akan berada di rumah ini.
“Permisi, saya Jaeman” teriakku sambil mengetukan gembok yang terkunci ke pagar, berharap penghuninya bisa mendengar ketukan gembok itu.
Tidak ada yang menghampiri.
“Permisi, saya Jaeman” teriakku ulang.
Masih tidak ada yang menjawab.
“Hooo, dek Jaeman ya?” Aku mendengar suara seseorang dari belakangku, kemudian aku membalikan badanku.
“Maaf saya baru selesai membersihkan kandang sapi, mari masuk” kata orang itu sambil membuka gembok mempersilahkanku masuk.
Aku memasuki sebuah rumah dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Rumahnya begitu sederhana menurutku. Perabotan di rumah itu hanya ada seperangkat peralatan masak yang berada di dapur, sebuah meja sederhana dengan dua buah bangku di sisinya, serta sebuah tv tabung 14 inch. Bapak itu menyuguhkan ku secangkir teh manis hangat, minuman yang sangat tepat di daerah dengan lingkungan sejuk ini.
“Saya mandi dulu ya de, ga enak kalo berbicara panjang lebar dengan orang yang bau tahi sapi kan? Hahahaha”
“Iya, pak. Silahkan” Kataku kepada bapak itu sambil memberikan senyuman.
Setelah 5 menit menunggu, bapak itu keluar dengan rambut tersisir rapi, kaos oblong berwarna putih, dan celana karet pendek. Bapak ini pun membawa secangkir teh untuk dirinya sendiri. Bagaimana bapak ini bisa melepas bajunya, mengambil handuk, sabunan, mengeringkan tubuhnya, memakai kaos, memakai celana, memanaskan air di dapur, mencelupkan teh, memasukan gula, mengaduknya dan melakukan hal sebanyak itu semua dalam waktu lima menit?
“Maaf sudah membuatmu menunggu lama de Man.”
“Ah, tidak lama kok pak. Jadi kenapa bapak memanggil saya ke sini?”
“Ceritanya sangat panjang de Man. Tapi pertama-pertama nama saya Galib, saya rekan kerja kakekmu, Cokro-”
“Tunggu, rekan kerja? Berarti bapak sudah umur berapa?” aku memotong kalimat bapak ini.
“Sekarang ini saya sudah berumur 80 tahun. Saya lanjutkan, saya dan kakekmu membangun Rijst ini sejak kami berusia 26 tahun. Sejak itu, setiap hari Sabtu dan Minggu kakekmu selalu ke Rijst untuk membantu saya mengerjakan pekerjaan di ladang dan di kandang. Namun sejak nenekmu, Lela meninggal, dan ibu-mu, Mega cukup dewasa untuk bisa hidup sendiri di kota, Cokro pindah dan tinggal di Rijst bersama saya. Kami berdua mengurus Rijst ini tanpa bantuan orang lain, dan kami berhasil memenuhi kebutuhan kami dari Rijst ini” Bapak-atau yang lebih cocok ku sebut mbah karena umurnya, namun masih seperti bapak-bapak karena fisiknya yang selalu di latih bekerja- menjelaskan panjang lebar tentang silsilah keluarga ku dan asal mula Rijst ini. Aku tidak mengetahui Rijst ini, karena ibu-ku meninggal saat aku masih bayi, dan ayahku pun tidak pernah bercerita tentang Rijst ini, mungkin karena ayahku tidak tahu.
Kemudian pak Galib melanjutkan ceritanya.
“Sayang sekali Cokro harus meninggalkan saya dan Rijst di saat ia berumur 65 tahun.” Pak Galib berhenti sejenak untuk menyeruput teh hangatnya yang sudah mendingin karena terlalu lama di diamkan.
“Lalu apa hubungannya engkong, Rijst, bapak dengan saya?” Tanya ku.
“Nah, saat Cokro mau meninggal, ia berkata kalau ada apa-apa dengan Rijst, hubungi saja anaknya. Namun karena Mega telah meninggal, aku menghubungi kamu, cucunya.”
“Memang ada apa dengan Rijst, pak?” Tanyaku.
Pak Galib terdiam sebentar. “Lebih baik kita berbincang-bincang sambil berjalan berkeliling Rijst, dek Man.”
Aku menuruti ajakan pak Galib dan berkeliling-keliling melihat pemandangan di Rijst. Rijst adalah sebuah persawahan yang dikombinasikan dengan peternakan sapi serta kuda. Namun dirancang sedemikian rupa sehingga sapi-sapi dan kuda-kuda tidak berjalan menuju persawahan. Persawahan Rijst dibagi menjadi tiga bagian yang tertata dengan rapi. Ada untuk padi, untuk sayur-sayuran, dan untuk rempah-rempah seperti lada dan lain-lain. Sedangkan listrik Rijst diperoleh dari kincir air yang berputar seiring dengan aliran sungai.
“Kincir air itu buatan mahasiswa teknik loh. Berkat mahasiswa-mahasiswa itu Rijst jadi tidak perlu membayar listrik lagi” kata pak Galib bangga.
Kemudian kami menuju ke kandang sapi dan kuda, Rijst memiliki 9 sapi perah dan 2 kuda jantan. Kandang-kandang di sini juga cukup bersih karena selalu dibersihkan oleh pak Galib.
“Di sini pak Galib kerja sendiri?” aku bertanya
“Di hari biasa sih iya, saya biasa bekerja dari pagi sampai sore untuk menyelesaikan ini semua, namun sekarang di setiap hari Sabtu dan Minggu ada sekitar tiga sampai lima warga sekitar yang mau membantu saya mengurus Rijst secara bergantian. Oleh karena itu, sekarang Rijst tidak hanya menjadi milik saya dan Cokro saja, sekarang Rijst juga milik warga sekitar sini.” Pak Galib berkata sambil tersenyum.
“Namun, ada beberapa pihak yang merasa Rijst hanyalah sebuah pertanian dan peternakan biasa, Rijst terancam hilang karena nanti akan ada pembangunan sebuah pabrik di sini.” Kata pak Galib dengan ekspresi tenang namun tersirat sedikit kekhawatiran di wajahnya.
Aku terenyuh mendengarnya, ada keinginan dari dalam diriku untuk mempertahankan Rijst ini. Namun aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kurasa pak Galib salah saat pertama kali ia meneleponku. Seharusnya ia menelpon agen tanah atau notaris atau polisi bahkan kalau perlu tentara untuk melindungi Rijst ini.
“Oleh karena itu, sesuai dengan wasiat Cokro, aku menghubungi cucunya. Tapi saya sendiri tidak tahu apa yang bisa kamu lakukan untuk mencegah pembangunan pabrik ini.” Kata pak Galib pasrah.
“Memang perusahaan apa yang mau mendirikan pabrik di sini, pak?”
“Perusahaan Lentera Abadi. Rencananya dalam tiga bulan kedepan perusahaan itu akan melakukan dialog dengan kepala daerah untuk membicarakan pembangunan. Dan kemungkinan pembangunannya akan dilakukan di bulan Mei dua tahun mendatang.”
Aku kaget, Perusahaan Lentera Abadi adalah perusahaan dimana aku bekerja. Aku tidak tahu harus berbuat apa, sebagian dari diriku ingin melindungi Rijst ini, namun sebagian lagi dari diriku tidak ingin ikut campur dalam urusan ini. Di belahan dunia lain pasti ada banyak Rijst-Rijst seperti ini yang nasibnya diakhiri dengan pembangunan sektor industri. Sang pemilik perusahaan tidak akan mau tahu tentang cerita suka-duka nya orang-orang seperti pak Galib dalam mengelola sebuah tanah yang akan mereka hancurkan nanti, mereka hanya mengerti tentang bagaimana cara mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dan hal itu membuatku sedikit kesal.
Akhirnya kami kembali ke rumah sederhana itu lagi setelah beberapa jam berkeliling di Rijst. Waktu menunjukan pukul 16.00. Jika aku pulang sekarang maka aku akan sampai di rumahku sekitar jam setengah sembilan. Namun pak Galib mengajakku supaya aku bermalam saja di sini, katanya tidak baik mengendarai mobil malam-malam. Dengan agak terpaksa aku menerima undangan pak Galib tersebut.
Malam hari di Rijst sangat berbeda dari malam-malam di kota. Di sini sangat tenang, jika kau keluar dari rumah saat malam, kau dapat melihat kerlip-kerlip indah bintang di langit dan mendengar suara-suara hewan yang terdiri dari serangga-serangga, burung-burung malam, suara sapi dan sedikit suara kuda; suasana di Rijst pun sangat sejuk hingga kau tidak perlu AC, malah kau membutuhkan sesuatu yang bisa menghangatkanmu. Walau suasananya indah dan tenang, tempat tidurnya adalah satu-satunya nilai minus. Tempat tidur kapuk keras, dengan bantal kapuk keras dan guling kapuk yang kapuknya terkonsentrasi di ujung-ujung guling. Aku merasa lebih baik aku tidur di lantai daripada dengan kasur ini.
“Mari kamu bantu saya berladang dan berternak.” Itu adalah kata-kata pertama yang kudengar di hari minggu pagi, bukan kata “Selamat pagi, de Man. Semoga minggu-mu menyenangkan”, tapi kata-kata ajakan untuk bekerja di hari istirahatku.
“Heeemmm” kataku kepada pak Galib. Aku belum sepenuhnya tersadar dari tidurku.
“Sudah cepat bangun, minum teh hangatnya kemudian bantu saya bekerja!”
“Iyaaa iyaaaaa” kataku malas.
Aku kemudian membantu pak Galib bekerja di ladang dengan menyiram tanaman rempah-rempah sedangkan pak Galib bekerja mengurusi padi-padinya. Kemudian kami memetik sayur-sayuran yang sudah masak dan memilah-milah sayuran itu, beberapa sayuran yang baik diambil untuk makan pak Galib, kemudian sisanya di ambil oleh pedagang pasar untuk dijual di pasar. Pedagang itu nanti siang akan kembali dari pasar dan memberikan uang hasil penjualan kepada pak Galib. Sesudah memilah-milah sayuran itu, kami menuju ke kandang sapi. Saya diajari cara membersihkan kotoran sapi dari kandang, menaruh makanan ke tempat makan sapi, membersihkan sapi, serta cara memerah susu sapi agar aku tidak di tending oleh sapinya. Setelah melakukan itu semua, kami ke kandang kuda untuk membersihkan kandang kuda, memberikan makan jerami, serta memandikan kuda. Sebagai bonus, pak Galib memperbolehkan saya menunggangi si Hitam, kuda Rijst.
Kami baru selesai mengerjakan tugas-tugas kami jam dua siang. Saya merasa sangat kelelahan, namun pak Galib tidak menunjukan tanda-tanda kelelahan sedikitpun.
“Pak Galib, ini uang hasil dagang sayurannya, tidak banyak hari ini.” Pedagang pasar yang tadi pagi mengambil hasil panenan sayur Rijst datang ke rumah.
“Oh, begitu ya. Yasudah uang hasil penjualannya buat kamu saja” Kata pak Galib dengan santainya.
“Wah, terimakasih banyak ya, pak! Kalau begitu saya pulang dulu” Pedagang itu membalas dengan ceria.
“Pak, kenapa uangnya ga di ambil?” Tanyaku.
“Buat apa uang?”
“Ya, buat bapak membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari”
“Tidak, dek Man. Saya sudah cukup dengan hidup seperti ini. Lagipula saya percaya uang tidak akan kemana. Jika memang uang sebesar tadi itu adalah milik saya, maka nanti uang tersebut juga akan datang sendiri kepada saya”
Aku terkesima, baik sekali teori pak Galib.
“Nah, sudah jam setengah tiga sekarang. Kamu mau kembali lagi ke kota kan, dek Man?” Tanya pak Galib
“Sepertinya iya, pak. Saya harus bekerja lagi di hari senin nanti.”
“Wah, sayang sekali ya, padahal saya ingin kamu membantu pak tua ini mengurusi Rijst setiap hari. Yasudah, mandi sana dulu, kalau langsung pulang nanti mobilmu bisa bau tahi sapi.” Kata pak Galib. Aku tidak mengerti kenapa pak Galib selalu membawa-bawa ‘tahi sapi’ di setiap leluconnya.
Setelah mandi, jam tiga siang aku-pun pergi ke kota stelah berpamitan kepada pak Galib. Aku meninggalkan Rijst dibekali dengan satu kantong plastic berisi sayuran yang baru aku petik tadi pagi. Sesampaiku di rumah, aku memberikan sayuran itu kepada mbak Num.
“Habis wisata sawah ta, Nyo?”
“Enggak, saya habis berkunjung ke sawah kerabat engkok, mbak”
“Oh, soalnya saya liat di tv, kayaknya sekarang wisata-wisata alam lagi nge-trend, Nyo.”
Aku hanya memberikan senyuman kepada mbak Num, dan kemudian menuju ke kamarku untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan. Namun ada sebuah ide liar datang ke kepalaku, mengapa Rijst tidak dijadikan tempat wisata alam saja? Disana orang-orang bisa bersawah, menanam padi, dan lain-lain. Kemudian kami meminta dukungan warga dan orang-orang yang berwisata supaya Rijst tidak dihilangkan. Ide yang sangat cemerlang! Ide ini sangat cemerlang hingga bersaing dengan ide ‘hidup tanpa uang’ yang selalu menjadi kebanggaanku. Aku menjadi tidak sabar kembali ke Rijst untuk memberitahukan ide cemerlang ini kepada pak Galib.
Di kantor pun aku bertanya kepada atasanku tentang hal ini. Aku bertanya, apa yang terjadi jika lahan yang akan digunakan untuk pembangunan pabrik adalah lahan yang digunakan untuk orang-orang berwisata alam.
“Tentu pembangunan akan dibatalkan karena terlalu banyak resikonya jika perusahaan menggunakan tanah tempat wisata. Namun pengelola tanah juga tidak akan menerima uang ratusan juta dari perusahaan karena pembelian tanah dibatalkan.” Kata atasan kepadaku. Jawaban yang sangat memuaskan untukku.
Hari Sabtu pun tiba, jam empat pagi aku bangun dan segera mandi kemudian bergegas menuju Rijst untuk memberitahukan ide itu kepada pak Galib.
“Jadi pak, saya punya ide, mengapa tidak menjadikan Rijst sebagai tempat wisata perkebunan dan peternakan saja? Kemudian kita cari dukungan dari pengunjung untuk menolak pembangunan industri” Kataku dengan semangat.
“Ya, itu sih boleh saja, de Man. Tapi Rijst kayaknya terlalu kecil jika di datangi oleh sekian ratus orang secara bersamaan.”
“Itu bisa kita akali, pak. Mungkin Rijst dibuat menjadi sebuah tempat wisata alam dengan kuota beberapa puluh orang. Orang yang mau berwisata harus melakukan reservasi dulu via telpon. Orang orang yang berwisata nanti bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan sawah yang ringan, bisa menyiram tanaman rempah, memberi makan sapi, menunggang kuda atau hal-hal lainnya pak. Dan kita nantinya hanya akan meminta sumbangan sukarela untuk pengelolaan Rijst ke depan. Bagaimana?” Tanyaku bersemangat
“Ya, ide nya dek Man sih bagus menurut saya. Tapi saya tidak mampu mengelola tempat wisata sendirian, dek. Lagipula, memang ada orang yang mau membayar setelah bekerja di sawah dan di kandang? Masa sudah jadi pembantu, disuruh bayar pula?!”
“Masalah pengelolaan itu belakangan, pak. Yang penting kita harus menyebarkan tentang Rijst ke seluruh daerah. Karena belakangan ini banyak keluarga yang mencari tempat wisata alam. Jadi Rijst pasti ada pengunjungnya, pak.”
“Sepertinya bagus kalau begitu. Kapan kita bisa membuka Rijst untuk umum?” Tanya pak Galib semangat.
“Secepatnya, pak. Saya akan menggunakan nomor telepon rumah ini sebagai nomor telepon reservasi Rijst, pak. Nanti bapak hanya tinggal mencatat nama orang yang menelepon, jumlah orang yang datang, dan hari serta jam berapa datangya. Mudah kan?” Kata ku.
“Emm, iya. Sepertinya saya bisa kalau hanya mengangkat telepon dan mencatat.” Kata pak Galib seperti sedang merenungkan sesuatu.
“Karena masih baru, Rijst hanya dibuka di hari Sabtu dan Minggu saja, pak. Dan saya akan datang setiap Sabtu dan Minggu untuk membantu.” Kata ku.
Ini adalah sesuatu yang baru bagi aku dan pak Galib. Setelah berbincang-bincang mengenai tempat wisata Rijst itu, kami kemudian bekerja di sawah dan di peternakan untuk melakukan tugas harian. Di malam harinya, aku duduk di teras depan rumah Rijst dengan secangkir teh, menikmati suasana alam yang indah dan tenang ini.
“Ini adalah sesuatu yang aku inginkan, kebebasan seperti ini dan suasana seperti ini adalah yang aku cari-cari selama ini.” Pikirku dalam hati.
Di hari Minggu, aku pulang ke kota setelah membantu pak Galib. Hari ini aku selesai lebih cepat karena ada 5 warga sekitar yang membantu. Sesampai di kota, aku langsung membuat promosi tentang Rijst di internet. Aku menulis tentang Rijst, apa yang bisa dilakukan di sana, kelebihan-kelebihan Rijst, biaya yang sukarela serta nomor reservasi Rijst.
Beberapa hari kemudian, aku mendapatkan telepon dari pak Galib bahwa hari sabtu nanti akan ada dua puluh delapan orang yang datang ke Rijst. Suara pak Galib terdengar senang di telepon.
“Terima kasih, dek Man.” Kata pak Galib dengan suara yang tenang.
“Terima kasih buat apa, pak?”
“Kamu telah memberikan jalan supaya Rijst tetap bisa dipertahankan, bagi saya bukan hanya Rijst yang penting, tetapi semua kenangan dan pengalamanlah yang membuat Rijst ini berharga bagi saya.”
Aku terharu. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menjawab “Ya, Rijst sekarang tidak hanya penting bagi pak Galib saja, sekarang Rijst juga penting buat saya. Karena di Rijst saya mendapatkan apa yang saya inginkan selama ini. Jadi, terima kasih juga telah mengenalkan saya dengan Rijst, pak.”
Pak Galib menutup teleponnya setelah perbincangan yang cukup mengharukan itu. Aku terdiam sejenak. Ada kelegaan dan keharuan yang menyelimuti jiwa ku. Kelegaan akhirnya ide tempat wisata itu bisa berjalan dan keharuan karena aku telah membantu mempertahankan sesuatu yang penting bagi seseorang.
Di hari Jumat, aku pulang dari kantor dan kemudian aku langsung pergi lagi menuju Rijst pada Jumat malam nya. Namun sekarang ada yang berbeda, karena aku mengajak mbak Num ke Rijst juga. Aku sampai di Rijst jam 12 malam. Pak Galib belum tertidur, ia mengaku tidak bisa tidur jika memikirkan besok adalah hari dimana Rijst berubah. Aku hanya tersenyum, aku menyuruh bapak tua itu tidur supaya besok bisa bangun dengan kondisi yang baik. Aku kembali tidur di kamarku dengan kasur kapuk itu, tetapi aku mempersilahkan mbak Num tidur di kasur kapuk, dan aku tidur di lantai. Lebih nyaman menurut ku.
Keesokan harinya, aku bangun jam empat pagi. Kami melakukan pekerjaan di sawah yang tidak akan dilakukan oleh pengunjung nanti seperti menyemprotkan pestisida serta membersihkan kotoran sapi dan kuda. Jam setengah delapan pagi, kunjungan dua puluh delapan orang itu datang. Aku menyambut mereka dengan kata-kata “Selamat datang di Rijst, tempat dimana kenangan dan pengalaman bergabung menjadi satu.” Kemudian aku mengajak mereka berkeliling Rijst dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sawah. Dibutuhkan waktu lima jam untuk menyelesaikan wisata ini, karena pengunjung bisa menyiram tanaman, memetik sayur-sayuran, memberi makan sapi, memandikan sapi, memerah susu sapi dan akhirnya berkuda secara bergantian. Pengunjung kemudian boleh berkeliling-keliling Rijst dengan bebas namun tidak merusak apapun. Sepulangnya, para pengunjung memberikan sumbangan sukarelanya. Tidak lupa juga aku memberitahukan bahwa tiga tahun nanti ada kemungkinan Rijst akan dihilangkan karena akan dibangun sebuah pabrik.
Sudah tiga bulan Rijst dibuka untuk umum, dan sudah empat bulan aku mengenal Rijst dan pak Galib. Semua kenangan-kenangan ini tidak akan aku lupakan. Setiap hari Sabtu dan Minggu, Rijst selalu di datangi oleh para pengunjung. Aku selalu menyambut para pengunjung dengan kalimat pembuka “Selamat datang di Rijst, tempat dimana kenangan dan pengalaman bergabung menjadi satu.” dan selalu bercerita tentang pembangunan industri tiga tahun nanti.
Namun ada sesuatu yang mengusikku di hari Sabtu sore ini. Seperti perasaan yang tidak enak, yang mengganjal jiwa sehingga membuatku sesak. Pak Galib malam itu mengaku kurang enak badan dan ingin tidur cepat, aku memberikannya obat dan mempersilahkan ia tidur duluan. Tak kusangka hari Sabtu itu adalah hari terakhir pak Galib, ia meninggal secara tenang di kamarnya. Aku mengetahuinya saat Minggu pagi, aku memasuki kamarnya untuk membangunkannya, namun ia tidak bangun dan akhirnya aku menyadari bahwa ia telah meninggal. Di tangannya ada sepucuk surat.
“Kepada dek Jaeman,
Saya merasa keinginan saya untuk mempertahankan Rijst telah terpenuhi. Oleh karena itu saya bisa pergi dengan tenang. Jaga Rijst baik-baik. Saya memberikan Rijst kepadamu. Semoga di tanganmu Rijst akan menjadi sesuatu yang lebih baik, lebih baik daripada Rijst yang Cokro dan saya tinggalkan. Semangatmu untuk mempertahankan Rijst ini pasti akan memberikan buah manis tersendiri. Beribu-ribu terima kasih kepadamu, dek Jaeman.
NB: Ada catatanku tentang bertani dan beternak di bawah kasurku. Pelajarilah baik-baik!
Dari Galib”
Aku terharu membaca surat itu. Rijst telah benar-benar memberikan pengalaman dan kengangan indah untukku. Sejak itu, aku meninggalkan kantorku di kota dan memutuskan untuk pindah dari kota ke Rijst bersama dengan mbak Num untuk merawat Rijst. Aku berusaha keras untuk mempertahankan Rijst ini dengan melakukan penambahan fasilitas-fasilitas demi kenyamanan berekreasi.
Bulan Mei, tiga tahun setelah aku mengenal Rijst, tidak ada tanda-tanda akan dibangunnya pabrik di sini.
PROFIL PENULIS
Facebook: Stefanus Christian Effendi
No. Urut : 735
Tanggal Kirim : 19/03/2013 21:52:04
Komentar
Posting Komentar
silahkan komentar yah ;)